Sabtu, 03 November 2012

Sejarah Kedokteran Hewan

Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit-penyakitnya. Profesi veteriner sendiri adalah profesi yang paling kompleks karena meliputi kesehatan, kesejahteraan hewan, produktifitas dari serangkaian jenis spesies hewan mulai dari invertebrata sampai sub human primata (drh. R.D Wiwiek Bagja). Sedangkan ilmu kedokteran hewan adalah seluruh aktivitas veteriner yang meliputi produksi dan perawatan hewan serta disiplin inti untuk mewujudkan kesehatan masyarakat dan semua yang langsung mempengaruhi kesehatan manusia (WHO, FAO, OIE, WHO/FAO Collaborating Centre for Research and Training in Veterinary Epidemiology and Management  1999).        
Okai, that is a terminologi about veteriner and veterinary medicine. Tapi kita tau nggak sih sejarah kedokteran hewan di dunia dan di Indonesia itu gimana? Kata veteriner itu berasal dari mana?? Enggak ? Yuk, kita bahas.

Di zaman Romawi Kuno  dikenal bangsa Etruscans yang sangat menyukai kuda dan sapi. Hal ini tampak dari  gambar-gambar yang merupakan peninggalan kuno. Hewan pada masa itu mempunyai nilai sakral ataupun nilai martabat dan pada ritual-ritual khusus digunakan sebagai hewan kurban. Setiap keberhasilan atau kemenangan,dilakukan perayaan dengan hewan kurban yang diberi nama-nama khusus. Kumpulan beberapa hewan kurban yang terdiri dari kombinasi beberapa jenis hewan antara lain babi (sus) ,biri-biri (ovis) , sapi jantan (bull) disebut   “souvetaurilia” .Sedangkan orang-orang yang mengurus hewan-hewan sakral yang akan dijadikan kurban tadi disebut “souvetaurinarii” yang kemudian diyakini sebagai lahirnya istilah “veterinarius”. Kemungkinan dari terminology lain yaitu masih di masa Romawi, dikenal hewan beban sebagai “veterina” dan suatu kamp penyimpanan hewan-hewan tersebut disebut “veterinarium”. Term “veterinarii” juga digunakan pada dukumen kuno sebagai “orang yang memiliki kekebalan khusus” karena memiliki “kompetensi khusus”. Dari berbagai literatur Lain yang juga membahas istilah “Veterinarius“ diartikan sebagai orang-orang yang mengurus hewan beban/hewan pekerja.
Dalam jurnal American Veterinary Medical Association 1972, diuraikan sejarah bagaimana para “ilmuwan kedokteran” jaman dahulu memerlukan hewan coba untuk pengembangan ilmu kedokteran manusia,namun mereka memerlukan veterinarius untuk menangani hewan-hewan tersebut dan bukan Ferrarius.
Untuk itu ternyata diperlukan veterinarius yang berpendidikan agar memahami apa yang diperlukan. Kemudian timbulah gelar-gelar Ph.D (Doctor of Philosophy) yang merupakan awal dari para Veterinarius menjadi “medical doctor” atau “Doctor of Veterinary Medicine”. Pada akhirnya nanti, veterinarius adalah orang-orang yang dari awalnya menyukai hewan dan mengurusnya dengan baik, memahami perilaku alaminya dan kemudian memperlakukannya sesuai perilaku alami ini.
Profesi Veteriner merupakan profesi yang sangat tua di dunia yang muncul sebagai pengembangan dari Profesi Kedokteran di zaman Yunani Kuno pada  460-367 Sebelum Masehi(SM) oleh Bapak Kedokteran di dunia yaitu Hippocrates. Profesi veteriner tercatat dalam kitab hukum pada masa pemerintahan Raja Hammurabi (1792 SM). Kode Hammurabi mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat Babilonia termasuk kesejahteraan hewan dan jasa perawatan serta pengobatan hewan
Metode kedokteran dan dasar-dasar filosofi kedokteran yang dikembangkan oleh Hippokrates sangat dipahami dan dihayati oleh seorang ilmuwan bernama Aristoteles (lahir 384 SM) yang menerapkannya pada penanganan penyakit-penyakit hewan. Beliau adalah Pencetus Kedokteran Perbandingan (Comparative Medicine) yaitu penerapan metode medik yang dipelajari untuk kedokteran manusia kepada spesies hewan dan terkenal dengan bukunya “Historia Animalium” (Story of Animals) yang menguraikan lebih dari 500 spesies hewan. Selain itu beliau juga menulis buku tentang Patologi Hewan yang mengungkapkan tentang penyakit-penyakit hewan serta memperkenalkan Kastrasi pada hewan ternak muda dan efeknya pada pertumbuhan dan banyak lagi metode-metode kedokteran pada berbagai spesies hewan. Karyanya yang lain adalah De Partibus Animalium, De Genetatlone Animallium dan Problematicum.
Nggak Cuma itu, ada nama-nama lain yang juga tercatat dalam perkembangan kedokteran hewan, yaitu :
         Hippiatros istilah masyarakat Yunani (500 SM), dokter kuda
         Varro (116 – 28SM) ahli penyakit kuda dan cara pengobatannya secara primitif
         Atharava Veda (1500 – 500 SM) : pustaka tentang pemeliharaan & pengelolaan kesehatan kuda dan gajah
         Raja Ashoka membangun RSH pertama 250 SM

Sedangkan pada jaman khalifah islam yaitu :
         Ibn Sina (Arieenoa), al Rahzi, dan Husayn bin Ishak al-Ibadi, menerjemahkan karya Hippocrates dan Filosof Yunani lain.
         Razi (860 – 940) menulis 200 buku bidang medis dan etika medis serta 25 volume ensiklopedia praktis Hawi.
         Ibn Sina (980 – 1037) menulis 16 buku serta Al – Kanun (the Canoun), ensiklopedia penyakit dari sedunia.
         Memacu perkembangan ilmu zoologi, kedokteran hewann, farmasi, farmakologi dan kimia.
Pada tahun 873 M/260H atau 877M/264H Hunayn Ibnu Ishab Al-Ibadi  mengarang Kitab al – Sard /Hilaj Al-dawabb wa – al-baqar wa al ghanam wa – adwiyattiha (The Detailed Presentation on the Therapeutic Treatment of Beasis, Cattle, Sheep, and Goats, and their Medicaments) serta menulis buku Kitab al Baytarah (Kedokteran Hewan) yang mungkin merupakan terjemahan dari Manuskrip Yunani tentang kuda dari Theompestus of Magnesia (Abad ke 4).
 Profesi kesehatan dimanapun berakar dari mythologi (mitos) dan hal-hal gaib (magic). Di zaman Yunani kuno, cerita tentang dewa-dewa penyakit dan  penyembuh antara lain Apollo, Chiron (digambarkan sebagai manusia berbadan kuda= centaur) dan murid-muridnya antara lain yang terkenal adalah Asklepios (latin : Aesculapius)  seorang manusia biasa yang berkemampuan menyembuhkan penyakit manusia dan hewan.
Simbol dari Aesculapius adalah Ular (As) dan Melingkar (klepios) di batang pohon dimana ular tidak beracun ini merupakan lambang sacral cara penyembuhan zaman kuno. Symbol kedokteran kemudian mengambil dari symbol Aesculapius, sedangkan profesi kedokteran hewan (veteriner) ada yang mengambil Centaur atau Aesculapius. Nah, spesies ular melingkar di tongkat itu adalah Elaphe longissima. 

Kalo sejarah kedokteran hewan di Indonesia gimana ?? di postingan selanjutnya yaa.. keep reading, blogpeep.

Sumber : Kuliah Umum Sejarah Pengembangan Kedokteran Hewan dan Etika Profesi oleh drh. R.D Wiwiek Bagja (Ketua Umum Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia / PB PDHI)

Sejarah Kedokteran Hewan di-Indonesia

Pada abad ke-19, pemerintah Hindia Belanda merasa membutuhkan tenaga kesehatan hewan menangani Kavaleri, sapi perah dan sapi pekerja. Kemudian pada tahun 1820 mereka mendatangkan dokter hewan dari Belanda yaitu R.A. Coppreters. Pada tahun 1834, Dokter hewan korps Kavaleri mulai didatangkan secara teratur. Pada tahun 1860 dibangun Sekolah Kedokteran Hewan di Surabaya. Pendidikan berlangsung selama 2 tahun. Namun sekolah tersebut ditutup pada tahun 1975 karena kurang dukungan dari politisi dan tentara kolonial.
 
Pada tahun 1892 Janeman, anggota parlemen Belanda, mengusulkan pada Gubernur Jenderal Pynacker Hordyk agar mendirikannya lembaga pendidikan untuk ajun dokter hewan pribumi (Inlandsche veeartsen) di Batavia karena terjadi ledakan wabah rinderpest yang terjadi mulai tahun 1879. Namun usul tersebut  mendapat tentangan dari kalangan ilmuan, birokrat dan militer colonial dikarenakan kehadiran dokter hewan pribumi dengan gaji rendah dan keterampilan yang menyamai dokter hewan eropa dikhawatirkan akan menyaingi posisi mereka di dalam pemerintahan.
 
Kemudian pada 5 Mei 1907, Profesor Melchior Treub, Direktur Pertanian, mendirikan sekolah veteriner dan sebuah laboratorium yang pendidikan di Cimanggu Kecil Bogor. Lalu Cursus tot Opleiding van Inlandsche Veeartsen dipimpin oleh Dr. L. De Blick dengan Kepala Veeartsenlkunding Laboratorium (VL)  drh. De Does dan lama pendidikan selama 1 tahun. Pada tahun 1927 terjadi pemisahan NIVS dan VL. Pada Juni 1938, NIVS mendapat fasilitas baru di Kedung Halang Bogor serta memiliki asisten pengajar dari bangsa Indonesia yaitu R. Noto Soediro, Sikar, dan M. Nazar.
 
Perubahan terjadi lagi pada masa kependudukan Jepang (1942-1945). NIVS diubah menjadi Bogor Zyni Cakko (Sekolah Dokter Hewan Bogor) yang dipimpin perwira tentara Dai Nippon – Iwamoto. Pada 20 September 1946 didirikan Balai Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (BPTKH) dengan Rektor Magnifleus : Dr. Mohede 
  
Saat Agresi Militer Belanda I (1947) menduduki Bogor. Kelas Pengungsian di Klaten  diubah Fakultas Kedokteran Hewan UGM (1949). Sedangkan saat kependudukan Belanda di Bogor (1947 – 1949), kampus PTKH dan sekitarnya ditutup digunakan      sebagai kamp tawanan Jepang dan RAPWI lalu Pemerintah Federal membentuk Facultet der  Diergeneeskundige dari Universiteit van Indonesia. Perkembangan Pendidikan Kedokteran Hewan setelah penyerahan kedaulatan RI yaitu :
1950 : Facultet Kedokteran Hewan, Universitet  Indonesia (FKH - UI)
1955 : Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia  (FKHP – UI)
1961 : Fakultas Kedokteran Hewan, Peternakan dan Perikanan Laut, UI (FKHPPI – UI)
1961 : Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Syahkuala (FKHP – UI)
1963 : Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH – IPB) 
1972 : Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga – Surabaya.(FKH – UNAIR) yang
           Merupakan pecahan dari Fakultas Peternakan dan Kedokteran Hewan Universitas
           Brawijaya. Fakultas Peternakan di UB dan FKH di UNAIR
1981 : Program Studi Kedokteran Hewan     Universitas      Udayana – Bali (PSKH – UNUD)

Kalo tahun 2011 ini udah ada 10 Universitas yang ada FKH/PSKHnya yaitu, Universitas Syahkuala Aceh, Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta, Universitas Airlangga (UNAIR) Sby, Universitas Udayana Bali, Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS), Universitas Brawijaya (UB) Malang, Universitas Nusa Tenggara Barat (UNTB), dan yang baru dibuka tahun 2010 kemaren adalah Universitas Hasanudin Makasar dan Universitas Cendana (UNDANA) NTT.

(Sumber: Presentasi Etika Legislasi Veteriner dalam Prespektif Sejarah oleh drh. Fadjar Satrija, Bagian Parasitologi dan Patologi FKH IPB)

Jumat, 02 November 2012

Soekarno – Sejarah yang tak memihak

Malam minggu. Hawa panas dan angin seolah diam tak berhembus. Malam ini saya bermalam di rumah ibu saya. Selain rindu masakan sambel goreng ati yang dijanjikan, saya juga ingin ia bercerita mengenai Presiden Soekarno.
Ketika semua mata saat ini sibuk tertuju, seolah menunggu saat saat berpulangnya Soeharto, saya justru lebih tertarik mendengar penuturan saat berpulang Sang proklamator. Karena orang tua saya adalah salah satu orang yang pertama tama bisa melihat secara langsung jenasah Soekarno.

Saat itu medio Juni 1970. Ibu yang baru pulang berbelanja, mendapatkan Bapak ( almarhum ) sedang menangis sesenggukan.
“ Pak Karno seda “ ( meninggal )
Dengan menumpang kendaraan militer mereka bisa sampai di Wisma Yaso. Suasana sungguh sepi. Tidak ada penjagaan dari kesatuan lain kecuali 3 truk berisi prajurit Marinir ( dulu KKO ). Saat itu memang Angkatan Laut, khususnya KKO sangat loyal terhadap Bung Karno. Jenderal KKO Hartono – Panglima KKO – pernah berkata ,
“ Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Merah kata Bung Karno, merah kata KKO “
Banyak prediksi memperkirakan seandainya saja Bung Karno menolak untuk turun, dia dengan mudah akan melibas Mahasiswa dan Pasukan Jendral Soeharto, karena dia masih didukung oleh KKO, Angkatan Udara, beberapa divisi Angkatan Darat seperti Brawijaya dan terutama Siliwangi dengan panglimanya May.Jend Ibrahim Ajie.

Namun Bung Karno terlalu cinta terhadap negara ini. Sedikitpun ia tidak mau memilih opsi pertumpahan darah sebuah bangsa yang telah dipersatukan dengan susah payah. Ia memilih sukarela turun, dan membiarkan dirinya menjadi tumbal sejarah.
The winner takes it all. Begitulah sang pemenang tak akan sedikitpun menyisakan ruang bagi mereka yang kalah. Soekarno harus meninggalkan istana pindah ke istana Bogor. Tak berapa lama datang surat dari Panglima Kodam Jaya – Mayjend Amir Mahmud – disampaikan jam 8 pagi yang meminta bahwa Istana Bogor harus sudah dikosongkan jam 11 siang.

Buru buru Bu Hartini, istri Bung Karno mengumpulkan pakaian dan barang barang yang dibutuhkan serta membungkusnya dengan kain sprei. Barang barang lain semuanya ditinggalkan.
“ Het is niet meer mijn huis “ – sudahlah, ini bukan rumah saya lagi , demikian Bung Karno menenangkan istrinya.
Sejarah kemudian mencatat, Soekarno pindah ke Istana Batu Tulis sebelum akhirnya dimasukan kedalam karantina di Wisma Yaso.
Beberapa panglima dan loyalis dipenjara. Jendral Ibrahim Adjie diasingkan menjadi dubes di London. Jendral KKO Hartono secara misterius mati terbunuh di rumahnya.

Kembali ke kesaksian yang diceritakan ibu saya. Saat itu belum banyak yang datang, termasuk keluarga Bung Karno sendiri. Tak tahu apa mereka masih di RSPAD sebelumnya. Jenasah dibawa ke Wisma Yaso. Di ruangan kamar yang suram, terbaring sang proklamator yang separuh hidupnya dihabiskan di penjara dan pembuangan kolonial Belanda. Terbujur dan mengenaskan. Hanya ada Bung Hatta dan Ali Sadikin – Gubernur Jakarta – yang juga berasal dari KKO Marinir.

Bung Karno meninggal masih mengenakan sarung lurik warna merah serta baju hem coklat. Wajahnya bengkak bengkak dan rambutnya sudah botak.
Kita tidak membayangkan kamar yang bersih, dingin berAC dan penuh dengan alat alat medis disebelah tempat tidurnya. Yang ada hanya termos dengan gelas kotor, serta sesisir buah pisang yang sudah hitam dipenuhi jentik jentik seperti nyamuk. Kamar itu agak luas, dan jendelanya blong tidak ada gordennya. Dari dalam bisa terlihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput alang alang setinggi dada manusia !.
Setelah itu Bung Karno diangkat. Tubuhnya dipindahkan ke atas karpet di lantai di ruang tengah.

Ibu dan Bapak saya serta beberapa orang disana sungkem kepada jenasah, sebelum akhirnya Guntur Soekarnoputra datang, dan juga orang orang lain.
Namun Pemerintah orde baru juga kebingungan kemana hendak dimakamkan jenasah proklamator. Walau dalam Bung Karno berkeingan agar kelak dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor. Pihak militer tetap tak mau mengambil resiko makam seorang Soekarno yang berdekatan dengan ibu kota.
Maka dipilih Blitar, kota kelahirannya sebagai peristirahatan terakhir. Tentu saja Presiden Soeharto tidak menghadiri pemakaman ini.

Dalam catatan Kolonel Saelan, bekas wakil komandan Cakrabirawa,
“ Bung karno diinterogasi oleh Tim Pemeriksa Pusat di Wisma Yaso. Pemeriksaan dilakukan dengan cara cara yang amat kasar, dengan memukul mukul meja dan memaksakan jawaban. Akibat perlakuan kasar terhadap Bung Karno, penyakitnya makin parah karena memang tidak mendapatkan pengobatan yang seharusnya diberikan. “
( Dari Revolusi 1945 sampai Kudeta 1966 )

dr. Kartono Mohamad yang pernah mempelajari catatan tiga perawat Bung Karno sejak 7 februari 1969 sampai 9 Juni 1970 serta mewancarai dokter Bung Karno berkesimpulan telah terjadi penelantaran. Obat yang diberikan hanya vitamin B, B12 dan duvadillan untuk mengatasi penyempitan darah. Padahal penyakitnya gangguan fungsi ginjal. Obat yang lebih baik dan mesin cuci darah tidak diberikan.
( Kompas 11 Mei 2006 )

Rachmawati Soekarnoputri, menjelaskan lebih lanjut,
“ Bung Karno justru dirawat oleh dokter hewan saat di Istana Batutulis. Salah satu perawatnya juga bukan perawat. Tetapi dari Kowad “
( Kompas 13 Januari 2008 )

Sangat berbeda dengan dengan perlakuan terhadap mantan Presiden Soeharto, yang setiap hari tersedia dokter dokter dan peralatan canggih untuk memperpanjang hidupnya, dan masih didampingi tim pembela yang dengan sangat gigih membela kejahatan yang dituduhkan. Sekalipun Soeharto tidak pernah datang berhadapan dengan pemeriksanya, dan ketika tim kejaksaan harus datang ke rumahnya di Cendana. Mereka harus menyesuaikan dengan jadwal tidur siang sang Presiden !

Malam semakin panas. Tiba tiba saja udara dalam dada semakin bertambah sesak. Saya membayangkan sebuah bangsa yang menjadi kerdil dan munafik. Apakah jejak sejarah tak pernah mengajarkan kejujuran ketika justru manusia merasa bisa meniupkan roh roh kebenaran ? Kisah tragis ini tidak banyak diketahui orang. Kesaksian tidak pernah menjadi hakiki karena selalu ada tabir tabir di sekelilingnya yang diam membisu. Selalu saja ada korban dari mereka yang mempertentangkan benar atau salah.
Butuh waktu bagi bangsa ini untuk menjadi arif.
Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Perjuangan adalah pelaksanaan kata kata

( * WS Rendra )

Menjelang Wafatnya Soekarno Berkas yang Hilang

Menjelang Wafatnya Soekarno (1) 
Berkas yang Hilang

JAKARTA – Sembilan buku besar tertumpuk rapih di salah satu ruangan di rumah Rachmawati Soekarnoputri, Jl. Jati Padang Raya No. 54 A, Pejaten, Jakarta Selatan. Buku bertuliskan tangan itu berisi medical record (catatan medis) mantan Presiden Soekarno selama sakit di Wisma Yaso, Jakarta. Ada pula tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Ini juga menjadi bukti riwayat penyakit Bung Karno. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Tapi yang lebih membuat dahi ini berkernyit keras, nama pasien disamarkan. Misalnya, ada yang tertera namanya Taufan (salah seorang putra Soekarno).

Menguak peristiwa yang terjadi tahun 1965-1970 itu memang tidak mudah. Pada masa lalu membicarakan masalah ini secara terbuka menjadi hal tabu. Maka tak heran jika sekarang banyak orang, terutama generasi muda, tak mengetahui kebenaran sejarah tersebut. Namun kini, ketika semua mata dan seluruh perhatian tertumpah di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) sehubungan dengan sakitnya mantan Presiden Soeharto sejak 4 Januari 2008, rasa ingin tahu tentang masa lalu pun kembali mengusik. Itu semata-mata karena Soeharto dan Soekarno sama-sama mantan kepala negara. Adalah Rachmawati Soekarnoputri, putri ketiga Soekarno, yang sangat ingin menyerahkan catatan medis ayahnya kepada pemerintah. "Ini kalau pemerintah butuh data-data pendukung dan ingin melihat dari segi kebenaran, bukan hanya cerita fiktif," tutur Rachmawati kepada SH di kediamannya, Sabtu (19/1) sore. Maklum, seorang mantan menteri Orde Baru pernah berkomentar bahwa perlakuan terhadap Soekarno ketika sakit tidak sekejam itu. "Saya tak mau gegabah.

Ini bukan make up story, karena Kartono Mohamad saja (saat itu Ketua Ikatan Dokter Indonesia/IDI-red), mengatakan perawatan terhadap Bung Karno seperti perawatan terhadap keluarga sangat miskin," kata Rachmawati.

Di sore hari itu, Rachmawati tidak sanggup bercerita banyak. Ia hanya tersedu sedan, hal itu sudah menggambarkan betapa getir kenangan yang dialaminya. Tetapi sebuah artikel yang pernahdimuat SH pada 15 Mei 2006, memberikan gambaran lebih lengkap. "Seorang perempuan muncul di Kantor IDI di Jakarta, awal 1990-an," demikian kalimat pertama artikel tersebut. Perempuan itu ingin bertemu Kartono Mohamad untuk menyerahkan 10 bundel buku berisi catatan para perawat jaga Soekarno. Namun jauh sebelum pertemuan itu, Kartono bertemu Wu Jie Ping, dokter yang pernah merawat Soekarno di Hong Kong. Wu mengungkapkan bahwa Soekarno "hanya" mengalami stroke ringan akibat penyempitan sesaat di pembuluh darah otak saat diberitakan sakit pada awal Agustus 1965, dan sama sekali tidak mengalami koma seperti isu yang beredar. Ini menepis spekulasi bahwa Soekarno tidak akan mampu menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan hari proklamasi 17 Agustus 1965. Dan nyatanya, Soekarno tetap hadir pada peringatan detik-detik proklamasi 17 Agustus itu di Istana Merdeka, lengkap dengan tongkat komandonya.

Diperiksa Dokter Hewan

Setelah kembali lagi ke Jakarta, Kartono menemui Mahar Mardjono, dokter yang tahu banyak soal stroke.Rupanya Kartono tak hanya bercerita soal stroke, tapi juga rentetan kejadian yang dengan sengaja menelantarkan Soekarno. Maka bundel buku yang dibawa perempuan itu semakin menguatkan kegelisahan Kartono.

Namun Indonesia di awal 1990-an, kebenaran hanya boleh ditentukan oleh penguasa. Maka bundel buku itu hanya teronggok di meja kerja Kartono selama bertahun-tahun. Hingga kemudian, krisis moneter meledak. Rakyat turun ke jalan dan Presiden Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun, dipaksa meletakkan jabatan. Indonesia berubah wajah. Kartono pun teringat onggokan buku itu. Ia bergegas ke RSPAD, rumah sakit yang mempekerjakan empat perawat di Wisma Yaso.Kartono berharap dapat menemukan mereka, agar bangsa Indonesia mendapat cerita yang lengkap tentang tahun-tahun terakhir Soekarno. Namun menemukan Dinah, Dasih, J. Sumiati, dan Masnetty ternyata bukan hal mudah. Seorang di antara mereka meninggal, sedangkan yang lain sudah pensiun. RSPAD pun mendadak tak memiliki file atau berkas dari para perawat ini.

Kartono kehilangan jejak. Upayanya untuk mencari medical record Soekarno gagal. Pihak RSPAD mengatakan bahwa keluarga Soekarno telah membawanya. Ketika ini ditanyakan kepada Rachmawati, ia hanya geleng-geleng kepala. "Tidak, tidak," jawabnya lirih. Yang membuatnya semakin terenyuh, sebelum dibawa ke Jakarta, Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo yang seorang dokter hewan. Jejak ini terlihat dari berkas berkop Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi.

Bahkan setelah dipindah ke RSPAD karena sakit ginjalnya semakin parah, upaya untuk melakukan cuci darah tidak dapat dilakukan dengan alasan RSPAD tidak mempunyai peralatan. Catatan medis juga menyebutkan obat yang diberikan hanya vitamin (B12, B kompleks, royal jelly) dan Duvadillan, obat untuk mengurangi penyempitan pembuluh darah perifer. Perihal tekanan darah tinggi yang juga disebutkan dalam catatan medis, juga menyisakan tanya pada diri Rachmawati.

Setiap kali menjenguk sang ayah dan mencicipi makanannya, masakan selalu terasa asin. "Saya kecewa dengan semua perawatan itu. Ini sama saja dengan membiarkan orang berlalu," lanjut Rachmawati.

Seorang mantan pejabat di era Presiden Soekarno membenarkan terjadinya fakta seputar masa sakit Soekarno yang tersia-sia. "Tidak seperti sekarang ini, perawatan terhadap Soeharto. Sangat berbeda, padahal seharusnya semua mantan presiden berhak dirawat secara all out dan diongkosi oleh negara," katanya.

Purnawirawan perwira tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan seragam terhadap Soekarno berasal dari sebuah instruksi. "Yang memberi instruksi ya orang yang sekarang sedang dirawat itu," katanya. Namun pria ini enggan dituliskan namanya. "Wah, kalau ditulis di koran saya pasti digangguin...," tuturnya dengan nada serius.



Menjelang Wafatnya sang Proklamator (2-Habis) Mengistimewakan Soeharto, Menyia-nyiakan Soekarno

JAKARTA – Selembar foto hitam putih menguak penderitaan Soekarno ketika tergolek sakit di Wisma Yaso, Jakarta, 15 hari sebelum ia wafat. Kedua pipinya terlihat bengkak, gejala fisik pasien gagal ginjal. Matanya sedikit terbuka, tapi tanpa ekspresi. Raut wajahnya menampak kepasrahan yang begitu dalam. Soekarno terlihat berbaring di atas sofa berukuran sempit dengan sebuah bantal. Kedua tangannya dicoba ditangkupkan. Siapa sangka, pria gagah inilah sang proklamator yang mengantarkan Negara Indonesia ke pintu kemerdekaan hingga detik ini.

Gambar ini dibuat secara diam-diam oleh Rachmawati Soekarnoputri bersama Guruh Soekarnoputra, 6 Juni 1970. Sebuah momentum bertepatan dengan hari ulang tahun Soekarno yang ke-69. ”Dik, ikut yuk, saya mau motret bapak,” tutur Rachmawati kepada adiknya, Guruh, kala itu. Rupanya foto tersebut kemudian dikirimkan Rachmawati ke Kantor Berita AP dan dimuat di Harian Sinar Harapan.

Maka gemparlah, dan Rachmawati diinterogasi oleh Corps Polisi Militer (CPM). Rachmawati pun bertanya, ”Mengapa dilarang memotret, memangnya status Bung Karno apa?” Tetapi tak pernah ada jawaban tentang apa status Soekarno, sampai detik ini. ”Jadi semua serbasumir. Tak ada kejelasan tentang status bapak sampai bapak meninggal,” kata Rachmawati kepada SH di kediamannya di Jl. Jati Padang Raya No. 54A, Pejaten, Jakarta Selatan, Sabtu (19/1) sore.

Di saat kondisi penyakit ayahnya semakin kritis dan putra-putri ingin membesuknya, mereka tetap harus melapor dulu ke Pomdam Jaya, sehingga tidak dapat menengok setiap hari. Wisma Yaso yang terletak di Jl. Gatot Subroto, Jakarta, itu padahal merupakan kediaman istri Soekarno, yakni Dewi Soekarno. Begitu pula Soekarno sendiri, dalam kondisi sakit masih tetap harus menjalani pemeriksaan oleh Kopkamtib tiga bulan sekali.

Situasi seperti itu semakin menambah kalut keluarga Soekarno, setelah sebelumnya didera cobaan bertubi-tubi. Pada pertengahan 1965, sebuah rumor mengabarkan Soekarno mengalami koma sehingga diperkirakan tidak bisa menyampaikan pidato kenegaraan pada peringatan Proklamasi 17 Agustus 1965. Tetapi nyatanya, Soekarno hadir pada peringatan detik-detik proklamasi tersebut di Istana Merdeka, lengkap dengan pakaian kebesaran dan tongkat komandonya.

Tahun berikutnya, setelah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) diteken 11 Maret 1966, keluarga Soekarno mendapat kiriman radiogram pada tahun 1967, berupa perintah supaya mereka keluar dari Istana Bogor. Maka kemudian di tahun 1968, Soekarno pindah dari Istana Bogor ke Batu Tulis, masih di wilayah Bogor.

Ternyata hawa dingin di Bogor membuat penyakit rematik Bung Karno semakin parah. Saat itu Soekarno ditangani oleh dokter Soerojo, dokter hewan. Bukti ini dikuatkan dengan dokumen riwayat penyakit Bung Karno di atas tujuh lembar kertas tua yang warnanya sudah memudar kecokelatan. Kopnya bertuliskan Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan Bagian Bakteriologi, Djl. Kartini 14, telpon 354, Bogor. Menurut Rachmawati, penanganan dokter Soerojo saat itu pun hanya bersifat insidental. Lantaran rasa sakit makin tak tertahankan, akhirnya Soekarno mengutus Rachmawati untuk menyampaikan surat permohonan kepada Soeharto agar diperbolehkan kembali ke Jakarta.

”Saya diterima Pak Harto di Cendana, menyampaikan permintaan agar bapak dipindah ke Jakarta. Saya harus menunggu jawabannya dua minggu, aduh…,” tutur Rachmawati tak habis pikir. Akhirnya, Soekarno dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta, yang sekarang menjadi Museum Satria Mandala. Beberapa minggu kemudian dibentuklah tim dokter dengan ketua Mahar Mardjono. Tetapi karena Wisma Yaso hanya rumah biasa, tentu saja fasilitas medis yang tersedia sangat berbeda dengan jika dirawat di rumah sakit.

Tidak Cuci Darah

Hari-hari berikutnya, kondisi Soekarno menurun drastis. Seperti yang terdokumentasi dalam foto Rachmawati tersebut, pipi Soekarno sudah membengkak, pertanda mengalami gagal ginjal. Kondisi makin kritis. Hingga akhirnya pada 11 Juni 1970 mantan Presiden I RI itu dilarikan ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto.
Rupanya pindah perawatan ke rumah sakit tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Perawatan yang diberikan tetap tidak maksimal dan peralatan medis seadanya. Pada saat dokter memastikan harus dilakukan cuci darah, upaya satu-satunya ini tidak dapat dilaksanakan.

Alasannya, RSPAD tidak memiliki peralatan untuk cuci darah. ”Ini sama saja membiarkan orang cepat berlalu...,” tutur Rachmawati. Begitu pula dengan obat-obatan, tidak tersedia di RSPAD sehingga putra-putri Soekarno membelinya sendiri di apotek di Kebayoran. ”Ada satu periode di mana saya tidak boleh menengok bapak,” ungkap Rachmawati. Dalam keadaan genting seperti itu, keluarga masih tetap tidak diizinkan tidur di rumah sakit untuk menunggui sang ayah. Mereka hanya boleh menunggu di dalam mobil di tempat parkir.
Tak ada pula teman-teman yang bisa menjenguknya, kecuali Mohammad Hatta. Rachmawati mengakui, selepas tahun 1965 memang terjadi de-Soekarno-isasi. Semua hal yang berbau Soekarno harus disingkirkan sejauh mungkin. Hingga akhirnya pada 21 Juni 1970, Soekarno wafat. Jenazahnya kemudian disemayamkan di Wisma Yaso dan dilepas oleh Presiden Soeharto untuk diterbangkan ke Blitar, Jawa Timur. Itulah kali pertama Soeharto melihat fisik Soekarno setelah disingkirkan dari Istana Kepresidenan. Yang menjadi inspektur upacara pada pemakaman itu Jenderal TNI M Panggabean, tanpa kehadiran Presiden Soeharto di Blitar.

Mengapa pusara mantan Presiden I RI itu berada di kompleks pemakaman Desa Bendogerit, Blitar? Lokasi itu dipilihkan oleh negara dengan alasan dekat dengan makam kedua orangtua Soekarno. Pihak keluarga sebenarnya mengajukan permintaan sesuai wasiat Soekarno, yaitu dimakamkan di Batu Tulis atau di lokasi lain di Bogor. Juga ketika gaung agar Tap MPR No. 11 Tahun 1998 tentang KKN mantan Presiden Soeharto dikumandangkan kembali tatkala Soeharto sakit di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Rachmawati meminta dicabutnya Tap MPRS No. XXXIII/1967. Tap MPRS itu intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Soekarno dan mengangkat Soeharto

sebagai Pejabat Presiden. ”Secara pribadi saya berharap ada rehabilitasi. Dan Tap MPRS harus dicabut karena beban politik berbeda dengan beban pidana atau perdata,” lanjut Rachmawati. Putri ketiga Soekarno itu pun hanya geleng-geleng kepala, ketika mengetahui kondisi kesehatan Soeharto yang sedang dirawat di RSPP mulai membaik. Semua orang juga tahu, betapa luar biasa dan istimewanya fasilitas untuk Soeharto. Tetapi Rachmawati sama sekali tidak menaruh rasa dendam. Yang ia inginkan hanyalah, kebenaran sejarah.