BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Penyakit avian influenza terjadi di Indonesia
dimulai sejak tahun 2003 dan tetap berlanjut sampai sekarang. Kejadian
penyakit avian influenza bersifat
endemis dan meluas hampir ke semua Propinsi di Indonesia. Dampak ekonomis
akibat penyakit ini sangat berpengaruh terhadap industri dibidang perunggasan.
Hal tersebut selain terjadi kematian unggas dalam jumlah tinggi, tetapi juga
sangat berpengaruh dengan daya beli konsumen terhadap hasil dan produk
perternakan, karena virus avian influenza
berpotensi zoonotik, sehingga terjadi
pembatasan perdagangan produk – produk perunggasan baik yang bersifat lokal
maupun internasional semakin berpengaruh terhadap kondisi usaha di bidang
perunggasan (Anonimus, 2006). Kerugian yang diakibatkan wabah avian influenza antara lain adanya
penurunan produksi yang dihasilkan, morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan
peningkatan biaya untuk penanggulangan, khususnya biaya sanitasi dan desinfeksi (Tabbu, 2000).
Avian
influenza adalah penyakit viral menular pada unggas terutama
pada kalkun dan unggas liar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang
termasuk dalam family orthomyxoviridae. Unggas
yang terserang penyakit ini menunjukan gejala gangguan pernapasan, gangguan
gastrointestinal dan menunjukan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi
(Anonimus, 2009). Tingginya angka kematian akibat penyakit avian influenza tidak hanya terkait dengan strain virus dan status
imun dari hospes penderita, tetapi juga tergantung pada spesies hewan yang terinfeksi,
umur, terjadinya infeksi bersamaan, dan faktor lingkungan (Anonimus, 2009).
Penyebaran penyakit avian influenza tidak hanya terbatas pada satu jenis spesies unggas
tetapi pada beberapa jenis spesies yang lain. Menurut informasi Direktoral
Jendral Bina Produksi Hewan pada tahun 2005, spesies unggas yang terinfeksi
virus avian influenza di Indonesia
adalah ayam petelur, ayam pedaging, itik, entog, angsa, kalkun, burung puyuh,
burung perkutut dan burung merak.
Penyakit avian influenza juga
dapat menular ke manusia (zoonosis). Rute utama transmisi avian influenza ke manusia terjadi karena kontak langsung dengan
unggas terinfeksi atau bahan yang terkontaminasi dengan materil fekal dari
unggas terinfeksi. Berdasarkan studi epidemologik kejadian infeksi avian influenza pada manusia berasal
dari unggas sedangkan penularan dari manusia ke manusia masih belum terbukti
(Anonimus, 2008).
Di lapangan pengenalan penyakit avian influenza didasarkan atas gejala
klinis yang ditimbulkan. Sejauh ini
pengenalan patologi makros terutama lesi tersifat di lapangan sangat penting
untuk membantu menegakan diagnosa penyakit unggas. Hal tersebut tidak lain
untuk dapat segera memberikan penanganan penyakit, dalam rangka mengurangi
potensi kerugian yang dapat ditimbulkan dari penyakit tersebut. Demikian halnya
pada kasus penyakit avian influenza,
adanya lesi tersifat sangat membantu peternak dan petugas di lapangan untuk
mengenali penyakit tersebut (Anonimus, 2006).
Dengan melihat gejala klinis penyakit avian influenza di lapangan sangat
dibutuhkan untuk dikaji lebih jauh, karena sejak muncul pertama kali sampai
sekarang teramati variasi gejala klinis yang sangat nyata. Pada kasus di tahun
2003, banyak peternak bingung karena pada waktu itu terjadi kematian sejumlah
ayam cukup tinggi tetapi tanpa teramati lesi spesifik tertentu, dan oleh
karenanya sangat dimengerti ketika ada pernyataan bahwa kasus tersebut
disebabkan oleh penyakit ND patogenisitas tinggi atau dikenal Velogenik
Viserotropik Newcastle Diseases. Disamping itu penyakit avian influenza belum pernah ditemui dipeternakan di Indonesia,
sehingga belum mempunyai pengalaman lapangan maupun yang berkaitan dengan
penyakit avian influenza. Kematian
ayam dalam jumlah tinggi tanpa ada lesi tersifat pada waktu itu memang
disebabkan oleh kemampuan virus avian
influenza untuk mengiduksi terjadinya apoptosis atau program kematian sel,
sehingga penyakit berlangsung sangat akut. Kondisi demikian menyebabkan
kematian ayam dengan cepat dan belum
sampai terlihat adanya kerusakan organ tertentu. Untuk itu diperlukan dukungan
pemeriksaan laboratorium mikrobiologi (virology
dan serology) dalam menegakkan diagnosa penyakit tersebut, salah satunya
adalah pengujian hambatan aglutinasi (HA) dan uji hemaglutinasi inhibisi (HI) terhadap virus avian influenza. Disampimg itu diperlukan monitoring terhadap
perkembangan virus avian influenza itu sendiri, tidak hanya pada dampak klinis
yang ditimbulkan (Anonimus, 2006).
- Tujuan
Pengujian ini bertujuan untuk diagnosa
virus avian influenza berdasarkan uji
hambatan aglutinasi (HA) dan uji hemaglutinasi inhibisi (HI).
- Manfaat
Hasil dari pengujian ini diharapkan
dapat bermanfaat bagi dunia pengetahuan pada umumnya dan dalam melakukan
pengujian untuk diagnosa terhadap virus avian
Influenza dengan uji hambatan aglutinasi dan hemaglutinasi inhibisi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Avian Influenza
- Definisi
Avian influenza (AI) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza
type A yang tergolong dalam family Orthomyxoviridae.
Virus influenza type A adalah virus yang dapat menjangkit beberapa jenis hewan
termasuk unggas, babi, kuda, anjing laut dan ikan paus (Tabbu, 2000). Virus ini
berukuran sedang atau medium, mempunyai genom RNA berbentuk helikal simetri,
beramplop dengan memiliki glikoprotein (Fennner and Gibbs,
1993).
Unggas yang terserang penyakit ini tersifat
dengan adanya gangguan pernapasan, murung, nafsu makan menurun, produksi telur
menurun, bulu kusam dan kusut dan penurunan berat badan (Anonimus 2008). Infeksi
pada ternak unggas menimbulkan sindrom yang khas berupa infeksi asymtomatik
pada respirasi, penurunan produksi telur pada kasus yang berat, dan tingkat
mortalitas yang dapat mencapai 100%.
Avian
influenza yang menyebabkan kematian yang sangat tinggi pada
unggas dilaporkan pertama kali pada tahun
1878 dan dikenal dengan nama fowl
Plaque, kemudian diganti dengan istilah Highly
Pathogenic Avian Influenza (HPAI), yang menyebabkan mortalitas yang tinggi pada unggas (Anonimus, 2007).
Avian
influenza mempunyai dampak ekonomik yang tinggi pada industri
perunggasan oleh karena adanya morbiditas dan mortalitas yang tinggi, penurunan
produksi, dan peningkatan biaya penanggulangan, khususnya biaya sanitasi atau
desinfeksi (Tabbu, 2000).
Disamping itu, virus juga bersifat zoonosis (dapat menular pada manusia)
sehingga cara penanggulangannya menjadi semakin kompleks dan mahal. Penyakit ini dapat melalui udara yang tercemar virus
H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita
influenza. Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke
manusia (Anonimus, 2007).
- Etiologi
Virus avian influenza dibagi menjadi tipe A,
B, dan C. Tipe A paling sering menyerang burung-burung liar dan unggas di dunia
(Cox
and Haaheim, 2007). Klasifikasi virus avian influenza berdasarkan antigenitas glikoprotein hemaglutinin (H)
dan neuraminidase (N) yang diekspresikan pada permukaan partikel virus
(Fourchier et al., 2005).
Virus
Influenza tergolong famili Orthomyxoviridae, genus influenza virus,
terdiri dari single stranded (ss), negative sense ribbon nucleic acid (RNA), berbagai
protein internal dan permukaan, dan suatu membran lipid di bagian luar (Murphy et al., 1996). Ribo nucleic acid (RNA) virus tersebut mempunyai 8 segmen RNA yang
membentuk 11 protein yang terdapat pada permukaan maupun kapsid. Nukleokapsid berbentuk heliks dengan diameter 80-120 nm,
mempunyai amplop lipid bilayer yang berasal dari hospes dan ditutupi
oleh tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi dan
neuraminidase (Murphy et al.,
1996). Protein permukaan terdiri dari hemaglutinin (H),
neuraminidase (N), dan matriks 2 (M2), protein kapsid meliputi nukleoprotein
(NP), polimerase kompleks (PB1, PB2, PA), matriks M1, dan nonstruktural protein
1 dan 2 (NS1, NS2) (Horimoto and Kawaoka., 2001). Berdasarkan atas struktur
antigen permukaan, yaitu H dan N, maka virus influenza A dikelompokkan lagi
menjadi banyak subtipe. Dewasa ini dikenal 16 subtipe H (1-16) dan 9 subtipe N
(1-9) (Subbarrao and Joseph, 2007). Protein H (HA) dan N (NA) yang terdapat pada permukaan merupakan antigen
virus yang paling penting karena dapat merangsang terjadinya respon imun hospes
terhadap infeksi (Jordan, 1990).

Gambar 1. Ilustrasi Struktur Virus Avian
Influenza (Anonimus, 2008)
Komponen
glikoprotein permukaan virus yang sering digunakan sebagai antigen determinant, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA)
yang berperan dalam mutasi genetik virus AI melalui gene reassortment (pencampuran genetik). Pencampuran genetik
melalui dua cara yaitu, shift antigenik
dan drift antigenik (Subbarrao dan
Joseph, 2007). Perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen
permukaan HA dan atau NA disebut shift
antigenik, dan perubahan struktur
antigenik yang bersifat minor dan berlangsung lama dikenal sebagai drift antigenik (Horimoto dan Kawaoka,
2001).
- Kejadian Penyakit
Para ahli melaporkan bahwa virus avian influenza A yang mempunyai banyak
subtipe telah diisolasi dari berbagai unggas dan burung peliharaan. Virus ini
dapat menimbulkan penyakit yang bervariasi keganasannya dari gangguan
pernapasan yang ringan, yang bersifat tidak patogen sampai penyakit yang
bersifat fatal yang bersifat sangat
patogen. Virus Influenza tipe A bersifat tidak patogen pada burung liar dan
mempunyai hospes yang bervariasi, meliputi burung dan mamalia. Virus Influenza
tersebut bereplikasi di dalam usus burung dan merupakan suatu cara penularan
yang efisien dari virus tersebut diantara unggas air dan mungkin juga pada
spesies hewan lainnya. Ada
reservoir pada hewan liar merupakan
suatu faktor penting dalam ekologi dari virus influenza. Virus yang khusus
ditemukan pada unggas dapat berasal dari letupan penyakit mamalia, misalnya
anjing laut, cerpelai dan ikan paus. Kenyataan tersebut menunjukan adanya virus
pada unggas dapat ditularkan oleh mamalia atau sebaliknya (Anonimus, 2005).
- Hospes Avian Influenza
Virus avian influenza tipe A dapat menyerang berbagai spesies, termasuk
unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain seperti cerpelai, anjing laut dan
ikan paus (Webster, et
al, 1988.). Reservoir virus influenza A dan berbagai unggas air
seperti bebek, unggas pantai, dan angsa (Horimoto and Kawaoka, 2001). Infeksi avian influenza pada unggas air liar
tidak menunjukkan gejala klinis seperti pada ayam (Dharmayanti dan Indriani,
2006). Virus akan bereplikasi pada epitel intestinum dan mensekresikan virus
yang cukup banyak melalui feses, sehingga akan terjadi penularan melalui rute fecal-oral. Migrasi unggas air yang terinfeksi virus avian influenza diduga menyebabkan
penyebaran virus antar benua (Murphy et
al., 1996).
Tingkat
keganasan virus avian influenza
bervariasi dan dapat dibedakan atas virus low
pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly
pathogenic avian influenza (HPAI) (Swyne
and Halvorson,
2003). Virus LPAI dapat menimbulkan penyakit yang
bersifat asimtomatik ataupun penyakit ringan yang terbatas pada saluran
pernafasan atau reproduksi dengan
tingkat mortalitas rendah. Sebaliknya, virus HPAI dapat menimbulkan penyakit
multisistemik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Virus HPAI
bersifat sangat menular dan dapat berasal dari virus LPAI melalui mutasi pada
protein permukaan hemaglutinin (Tabbu,
2000).
E. Patogenesis
Patogenisitas
merupakan suatu interaksi antara hospes dan virus sehingga suatu virus
influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu
bersifat patogenik untuk spesies yang lainnya (Easterday et al, 1997). Hal tersebut terjadi karena patogenisitas tergantung kepada sebuah konstelasi
gen yang optimal yang mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi kearah atau
menjauhi stimulus) dari jaringan dan agen penyebab, efektivitas replikasi dan
mekanisme penghindaran imunitas atau immune
evasion mechanism (Harder dan Werner, 2006). Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperan juga terhadap
hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat di duga sebelumnya.
Bentuk influenza unggas yang sangat patogen sampai saat ini secara ekskusif
ditimbulkan oleh sub tipe H5 dan H7. Namun dalam kenyataannya hanya sebagian
kecil subtipe H5 dan N7 yang menunjukan subtipe yang sangat patogen (Harder and Werner, 2006).
Virus avian influenza pada unggas mempunyai patogenisitas yang sangat
bervariasi, hal ini tergantung pada strain dari virus, usia spesies, spesies
yang terinfeksi, dan juga infeksi pada penyakit lain (Ardans, 1990) dan tidak
dapat diramalkan berdasarkan hospesnya atau serotipe 4 antigenik dari virus
tertentu (Tabbu, 2000). Berdasarkan tingkat patogenisitasnya, avian influenza dibagi menjadi avian influenza patogenisitas tinggi (Higly Pathogenic avian influenza atau HPAI)
dan avian influenza petogenisitas
rendah (Law Pathogenic Avian Influenza
atau LPAI) ( Anonimus, 2009).
Salah satu
ciri yang penting dari virus influenza adalah kemampuan untuk mengubah antigen
permukaan HA dan NA secara cepat atau mendadak maupun lambat (bertahun-tahun).
Virus avian influenza menginfeksi sel hospes dengan mengadakan ikatan dengan
reseptor asam sialat yang terdapat pada permukaan sel hospes (Behren and Mathias, 2006).
Penyebaran
virus avian influenza dapat
melalui leleran saluran repirasi dan
feses dari unggas sakit (Tumpey et al.,
2004). Infeksi virus avian influenza
pada sel hospes terjadi karena spikes (tonjolan) virus menempel pada
reseptor spesifik sel hospes. Selanjutnya virus avian influenza akan melakukan penetrasi lebih dalam menuju
sitoplasma kemudian ke inti sel hospes untuk mengintegrasikan materi
genetiknya. Virus avian influenza kemudian melakukan replikasi untuk membentuk
virion-virion baru dan menginfeksi sel-sel baru di sekitarnya (Subbarrao dan
Joseph, 2007). Virus avian influenza akan menginfeksi epitel sel usus dan
mengeluarkan virus dalam jumlah yang sangat banyak melalui feses.
- Cara Penularan
Penularan avian influenza dapat terjadi secara horizontal melalui kontak
langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi
mengeluarkan virus dari saluran pernapasan, konjungtiva dan feses. Penularan
dapat juga terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang tercemar
oleh material atau debu yang mengandung virus avian influenza (aerosol), makanan, minuman, alat atau perlengkapan
peternakan, kandang, kurungan ayam, pakaian, kendaraan, peti telur, egg trays, burung, mamalia, dan insekta
yang mengandung virus avian influenza
(Tabbu, 2000). Sehubungan dengan cara penularan tersebut, maka virus influenza
dapat disebarkan dengan mudah keberbagai daerah oleh orang atau perlengkapan
dan kendaraan yang dipakai untuk memasarkan produk ternak unggas.
Sumber penularan virus influenza pada
unggas adalah spesies unggas peliharaan lain, burung peliharaan, burung liar,
dan hewan lain. Para ahli melaporkan adanya penularan virus tersebut dari itik
ke ayam atau kalkun ke ayam, ayam mutiara dan burung merak. Sumber infeksi
avian influenza dapat berasal dari burung liar, terutama unggas air yang
berpindah - pindah. Penularan virus avian
influenza dari babi ke kalkun dapat terjadi melalui pekerja atau alat
tercemar virus tersebut setelah terjadi letupan virus tersebut pada babi.
Penularan virus avian influenza secara vertical (melalui telur) masih
dipertanyakan, walaupun virus tersebut dapat di isolasi dari kerabang dan
bagian dalam telur ayam yang terinfeksi oleh virus avian influenza (Tabbu, 2000).
- Gejala Klinis
Tingkat keganasan virus avian influenza merupakan faktor utama
yang berpengaruh terhadap gangguan gejala klinis yang sangat bervariasi
tergantung faktor spesies yang terserang, umur, kekebalan tubuh dan faktor
lingkungan (Raharjo, 2004). Gejala
pada unggas sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan (tanpa gejala), sampai
sangat berat. Hal ini tergantung dari jenis virus yang menginfeksi, jenis
unggas yang terinfeksi, dan penyakit- penyait lain yang ikut menginfeksi
(Anonim, 2005).
Highly pathogenic avian influenza
(HPAI) disebabkan oleh beberapa
virus subtipe H5 dan H7, dan biasanya menyebabkan infeksi sistemik yang
berdampak pada beberapa organ dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Low
pathogenic avian influenza (LPAI) biasanya menyebabkan penyakit respirasi yang bersifat
ringan dan penurunan produksi telur (Tumpey et
al., 2004).
Masa inkubasi avian influenza pada unggas antara
beberapa jam sampai tiga hari, tergantung pada jumlah virus, rute kontak, dan spesies unggas yang terserang
(Tabbu, 2000). Bentuk akut ditandai dengan proses penyakit yang cepat serta
mortalitas yang tinggi, gangguan pernafasan, lakrimasi yang berlebihan,
sinusitis, edema daerah kepala dan muka, perdarahan jaringan yang diikuti oleh
sianosis pada kulit terutama daerah
muka, jengger, pial, dada, tungkai, dan telapak kaki (Esterday et al., 1997).
Pada bentuk
yang sangat akut dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu
(Tabbu, 2000). Infeksi virus avian
influenza yang virulen (HPAI) menyebabkan terjadinya viremia dan multifokal
nekrosis pada organ viseral dan limfoid, radang pankreas, miokarditis,
miositis, dan encephalitis.
Ayam dan
kalkun terinfeksi juga tampak eksudat yang bersifat serous dan terdapat
hemoragi petechie pada organ respirasi, digesti, dan jantung. Radang kantung udara (air sacculitis) dan kongesti paru juga dapat terjadi pada
kalkun (Murphy et al,. 1996).
Seiring
berjalannya waktu, kasus avian influenza
di lapangan banyak yang tidak menimbulkan gejala khas penyakit avian influenza. Kejadian penyakit tidak
secepat awal kemunculan avian influenza,
namun morbiditas dan mortalitas masih tetap tinggi. Lesi spesifik pada ayam
petelur tidak ditemui namun menunjukkan gejala penurunan produksi telur (Wibowo
dkk., 2007).
Faktor predisposisi seperti lingkungan
yang kurang baik, penggunaan vaksin virus hidup dan infeksi sekunder oleh
virus, bakteri serta mikoplasma dapat memperparah gejala klinis (Fennner and Gibbs, 1993).
- Diagnosis
Peneguhan
diagnosis avian influenza dapat
dilakukan berdasarkan isolasi dan karakterisasi virus. Isolasi virus sering
dilakukan pada telur ayam berembrio (Johansson et
al., 1988). Perkembangan selanjutnya, telur ayam berembrio menjadi sangat
popular untuk proses identifikasi avian
influenza karena keseragaman
dan kepekaannya terhadap virus avian
influenza. Virus avian influenza
sudah dapat dideteksi pada cairan alantois sejak pasase pertama kali (Tumpey at al., 2004). Inokulasi pada ruang alantois secara teknik lebih mudah
dilakukan daripada ruang amnion dan beberapa strain berkembang lebih cepat pada
ruang alantois. Inokulasi pada ruang alantois dapat dilakukan pada embrio ayam
umur 9 sampai 12 hari, namun lebih
disukai pada umur 10 hari (Tabbu, 2000).
Isolasi virus
paling tepat di ambil dari organ respirasi seperti trakea, paru-paru, kantung hawa,
dan eksudat dari sinus, dan dari saluran pencernakan
(Beard, 1989). Beberapa virus avian
influenza yang virulen dapat diisolasi dari organ hati, lien, maupun darah
pada unggas yang menunjukkan gejala klinis. Swab pada kloaka paling umum
dilakukan untuk isolasi virus pada
burung maupun unggas (Fourchier et
al., 2005). Tingkat virulensi dari isolat virus avian influenza sangat bervariasi, dari mulai tidak tampak adanya
gejala klinis sampai dengan tingkat kematian 100 % (Beard, 1989).
Identifikasi secara serologik dapat menggunakan enzymed
linked immunosorbent assay (ELISA), hemaglutinasi
inhibisi (HI), imunodifusi (ID),
dan western blot. Konfirmasi untuk menentukan subtipe virus dengan Polymerase
Chain Reaction PCR (Suwarno dkk.,
2006).
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa beberapa virus mampu mengaglutinasi eritrosit
unggas dan beberapa mamalia. Uji hemaglutinasi (HA) menjadi tes yang penting
untuk mengetahui adanya sifat virus yang mampu mengaglutinasi eritrosit dan dapat digunakan untuk mengukur
titer virus (Allan et al., 1971). Untuk dapat mengetahui
titer antibodi maka dapat menggunakan uji yang disebut
uji hambatan
aglutinasi atau hemaglutinasi inhibisi (HI). Prinsip dari uji
hemaglutinasi inhibisi lambat untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu
menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Bila terdapat antibodi dalam jumlah
mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan
eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak
mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk agregat (Allan et al., 1971).
Haemaglutinasi
(HA) dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk mengenali kemampuan suatu
virus, sedangkan uji hambatan hemaglutinasi oleh antibodi spesifik dapat
digunakan sebagai cara untuk mengenali isolat virus tertentu atau mengukur
titer antibodi dalam serum (Tizard, 1988). Aglutinasi pada eritrosit ayam dapat
terjadi setelah dicampur dengan cairan
alantois yang diketahui mengandung virus influenza dalam jumlah cukup banyak. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa beberapa virus mampu mengaglutinasi
eritrosit unggas dan beberapa mamalia. Uji HA menjadi sarana tes yang penting
untuk mengetahui adanya beberapa virus
dan dapat digunakan untuk mengetahui kuantitasnya dalam cairan alantois
(Killian, 2007).
Aktivitas Haemaglutinasi dihasilkan oleh saling
adsorbsi dari permukaan virus dan eritrosit. Adsorbsi dapat terjadi pada
beberapa bagian dari permukaan virus yaitu komponen sel yang mampu memberi
respon untuk adsorbsi
yang tersusun teratur dan rapat pada permukaan sel atau epitop. Uji HA positif akan menunjukkan
adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping (Beard, 1989). Uji HA
cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu
menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui
titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya
hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran
terakhir pada nomor tertinggi (end point)
yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif yang ditandai dengan adanya
agregat-agregat di dasar sumur (Killian, 2007).
BABIII
METODE PENELITIAN
- Tempat dan waktu praktek kerja lapangan
Praktek kerja lapangan ini dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner. Waktu kegiatan
praktek kerja lapangan mulai dari tanggal 28 Januari 2011.
- Materi
Mikropipet 25µl, multichannel pipet 25
µl, mikrotip, microdiluter 25µl, mikroplat 96 sumuran dengan dasar V atau U, sentrifuse,
incubator, mortir dan pastel steril, gunting dan pinset steril, spuit 1cc, egg puncher atau pelubang telur,
paraffin, pensil cina, rak telur dan rak tabung, egg candler atau peneropong telur, kulkas, pipet Pasteur, tabung
reaksi 5ml dan 10 ml. Bahan yang
digunakan di Balai Besar Veteriner antara lain suspensi sel darah ayam (s.d.m)
1%, phosphate buffer saline (PBS) pH 7,2 – 7,4, NaCl fisiologis, aquades, alkohol 70%, antibiotik penicillin
dan streptomicin 2mg/ml, gentamycin 50µg/ml, telur ayam bertunas sebanyak 30
butir yang berumur 9-11 hari, cairan alantois.
- Metode
Sampel yang digunakan berupa darah dan organ – organ predileksi spesifik seperti hati, limpa,
otak, ginjal dan paru
– paru yang dicurigai terinfeksi virus avian
influenza. Jumlah sampel yang diuji sebanyak 8 sampel dari ternak ayam dan
unggas lainnya yang berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Madura.
Sampel yang dikirim berasal dari dinas maupun sampel yang dikirim secara
perorangan.
- Pembuatan suspensi virus
Organ digerus
di dalam mortir dengan ditambahkan PBS 1: 4 (1 bagian organ dan 4
bagian PBS), kemudian dimasukkan
ke dalam tabung untuk disentrifuse (15 menit 3000 rpm), supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung baru,
ditambahkan antibiotika serta antifungi broadspectrum
(penecilin dan streptomicin), diinkubasi selama 3 jam 37ºC. Untuk
mengetahui kemungkinan adanya kontaminasi dilakukan penanaman pada media
pertumbuhan bakteri atau perbenihan
kaldu dan pelat agar darah kemudian
diinkubasi selama 18 – 24 jam dalam inkubator suhu 37ºC, selanjutnya diamati
ada pertumbuhan bakteri atau tidak. Apabila tidak ada berarti suspensi virus yang diperoleh layak ditanam ke
dalam telur ayam berembrio (TAB SPF).
- Pembuatan suspensi eritrosit ayam
Darah diperoleh dari ayam lewat vena sayap dengan menggunakan spuit disposabel. Darah yang diambil
harus dari ayam sehat dan tidak divaksin dengan vaksin virus Avian Influenza milik BBvet, kemudian darah dicampur dengan Na Sitrat dengan perbandingan 4:1.
Darah diencerkan dengan cara disentrifuse 3000 rpm selama 10 menit, diambil endapannya, dilakukan selama tiga
kali. Untuk mengetahui konsentrasi eritrosit maka eritrosit dimasukan dalam
tabung mikrohematocrit selanjutnya disentrifuse selama 10
menit. Eritrosit kemudian diencerkan dengan phosphate buffer saline (PBS) menjadi 1% untuk pengujian hemaglutinasi. Cara pembuatan sel darah ayam 1% yaitu 1 bagian
suspensi sel darah ayam dari stok ditambah 9 bagian PBS pH 7,2 – 7,4.
F. Mempersiapkan
TAB
Telur ayam berembrio yang telah
dieramkan 10-14 hari diteropong dengan lampu di kamar gelap, untuk
mengetahui mati atau hidup (egg candling). Bila ada yang mati
ditindaklanjuti dengan memasukan telur ayam tersebut ke dalam kulkas selama 3-4
jam. Telur ayam berembrio (TAB) yang
hidup dikumpulkan untuk diinokulasi, diberi tanda dengan pensil dimana letak
kepala embrio dan batas rongga udara agar lokasi inokulasi benar.
G. Inokulasi
suspensi virus
Telur diletakkan pada rak telur (egg try) dengan posisi rongga udara di atas, kemudian telur didesinfeksi pada
daerah di atas rongga udara dan dibuat lubang dengan egg puncher di daerah tersebut. Dengan menggunakan pompa suntik
diinokulasikan 0,1 – 0,2 ml inokulum dengan cara memasukkan jarum secara
vertikal ke dalam rongga udara sampai mengenai permukaan cairan korioalantois
atau membran kerabang. Jarum tidak boleh
digerakkan, untuk menghindari robeknya CAM yang dapat menyebabkan perdarahan
dan kematian embrio. Lubang ditutup dengan parafin dan telur dikembalikan ke
dalam inkubator yang bersuhu 37oC selama 4 hari untuk pasase
pertama. Peneropongan dilakukan setiap hari. Bila ada telur yang mati
ditindaklanjuti dengan memasukan telur ayam tersebut kedalam kulkas selama 3-4
jam. Kemudian panen dengan menggunting kerabang telur disekitar rongga udara,
cairan alantoisnya dihisap dengan menggunakan spuit semaksimal mungkin.
H. Panen
virus
Virus dipanen
dengan cara telur didesinfeksi dengan menggunakan alkohol 70 % ditambah biocid
atau jodium tincture. Kerabang telur kemudian dibuat lubang sebesar atau lebih
sedikit dari rongga udara, membran korio allantois digunting berbentuk bundaran. Dengan pinset embrio
ditekan kesamping akan terlihat cairan allantois dihisap dengan pompa suntik 5 ml,
diteteskan 0,25 ml cairan alantois ke dalam perbenihan kaldu dan pada pelat
agar darah untuk menguji ada tidaknya pertumbuhan bakteri.
Virus dipanen kemudian
dilakukan uji untuk membuktikan virus yang tumbuh adalah virus yang dimaksud
yaitu Avian influenza dengan uji
Hambatan Aglutinasi dan Hemaglutinasi
Inhibisi.
Tujuan uji HA cepat adalah untuk
mengetahui apakah virus tersebut dapat menghemaglutinasi eritrosit ayam. Jika hasilnya positif maka dilanjutkan dengan
identifikasi virus dengan metode hemaglutinasi inhibisi
cepat berdasarkan antibodi yang digunakan. Untuk menguji virus Avian Influenza maka harus dipakai antibodi virus Avian Influenza.
- Cara uji hambatan aglutinasi (HA) cepat
Cairan alantois ditambah satu tetes eritosit ayam yang diduga
mengandung virus Avian Influenza ditetesi
pada objek gelas, dan satu tetes lagi di tempat yang berjauhan sebagai kontrol.
Objek gelas di goyang – goyang, tunggu 5
menit diamati kemudian dibandingkan dengan kontrol. HA (+) akan terjadi
hemaglutinasi yaitu terlihat agregat – agregat eritrosit yang berkeping- keping
yang berarti virus tersebut mampu menghemaglutinasi eritrosit. Sebaliknya HA
(-) tidak terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan tidak terdapat agregat –
agregat yang berarti virus tersebut tidak mampu menghemaglutinasi eritrosit.
- Cara uji hemaglutinasi inhibisi (HI) cepat
Cairan
alantois ditetesi pada 2 tempat yang terpisah pada objek glass, satu tetes
ditambah dengan serum anti avian
influenza dicampur dan tunggu selama 5 menit. Eritrosit ayam diteteskan dan
dicampur kemudian tunggu selama 5 menit.
HI (+) ditandai dengan tidak terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa
kemampuan virus untuk menghemaglutinasi telah dihambat oleh serum anti avian influenza. Sebaliknya HI (-)
terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk
menghemaglutinasi tidak dihambat oleh serum anti avian influenza.
- Uji Haemaglutinasi
Untuk mengetahui aktivitas hemaglutinasi dan titer virus
digunakan uji HA. Prosedur uji tersebut adalah sumuran microplate no. 1-12
diisi dengan 0,25µl PBS/ NaCl fisiologis. Sebanyak 0,25µl antigen virus avian
influenza diisikan pada sumuran menggunakan mikropipet dan dicampur menggunakan diluter.
Campuran dari sumuran pertama dipindahkan sebanyak 0,25µl ke sumuran kedua
menggunakan diluter, dan dari lubang kedua dipindahkan ke lubang ketiga dan
seterusnya sampai lubang ke-11. Dari sumuran 11 setelah diambil 0,25µl, larutan dibuang kedalam beaker buangan yang berisi larutan desinfeksi. Kemudian sumuran
1-12 masing-masing diisi 0,25µl pengencer (PBS). Eritrosit ayam atau RBC 1% sebanyak 25µl dimasukan ke sumuran 1-12. Kocok dengan alat pengocok atau dengan tangan, diinkubasi
pada suhu ruangan ± 40 menit atau sampai s.d.m. pada sumuran 12 mengendap. Pembacaan
hasil dilihat pada saat sumuran ke-12 terjadi endapan eritrosit, pembacaan baru
dimulai (Beard, 1989).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Virus Avian
Influenza mempunyai beberapa macam
protein, salah satu diantaranya hemaglutinin. Antigen ini mempunyai kemampuan mengikat sel darah merah (s.d.m)
ayam, sehingga apabila suspensi virus / antigen Avian Influenza dicampur
dengan suspensi sel darah merah ayam akan terjadi aglutinasi s.d.m ayam.
Aglutinasi
/ ikatan ini bersifat reversibel. Sifat ini dapat digunakan untuk mengukur
jumlah titer virus / antigen Avian Influenza ( Anonimus, 2007).
Sampel yang diperiksa dengan uji hambatan aglutinasi (HA) dan
hemaglutinasi inhibisi (HI) menjadi uji yang penting untuk mengetahui adanya sifat virus yang
mampu mengaglutinasi eritrosit dan dapat digunakan untuk mengukur titer virus maupun
titer antibodi.

![]() |
Gambar 2. Uji HA lambat pada
plat mikro.
Gambar
(a). HA (-) Pada dasar sumuran terjadi pengendapan sel darah merah ayam. Gambar
(b). HA (+) Pada dasar sumuran terdapat hemaglutinasi sel darah merah ayam.
|


|

Gambar 3. Uji HA cepat pada
kaca benda.
Gambar (a). HA (+), Eritrosit ayam + cairan
korioalantois, tampak suspensi agregat eritrosit. Adanya
aglutinasi s.d.m ( seperti butiran pasir) terutama pada bagian tepi campuran
suspensi. Gambar (b). HA (-) Eritrosit ayam tanpa cairan alantois, tidak ada suspensi agregat eritrosit suspensi tetap homogen.
|

|


Gambar 4. Uji HI cepat pada
kaca benda.
Gambar (a). HI (+) Cairan korioalantois + serum anti avian influenza + eritrosit ayam, tidak terjadi aglutinasi. Gambar (b). HI (-) Cairan korioalantois +
eritrosit ayam, tampak adanya aglutinasi.

Gambar
6.Panen virus pada telur Spesific Phatogen
Free (SPF)
Jumlah sampel yang diuji sebanyak 8
sampel yang diperoleh dari ternak ayam dan unggas lainnya yang dicurigai
terinfeksi Avian Influenza berdasarkan
gejala klinis yang spesifik, yang
berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Madura. Uji HA dari
semua sampel yang diuji menunjukan hasil positif dan yang menunjukan hasil
positif teridentifikasi virus Avian
Influenza sebanyak 3 sampel. Tabel
1. Hasil uji HA dan HI beberapa sampel yang terdiagnosa virus Avian Influenza.
No
|
Isolate
|
HA
|
Titer
HA
|
HI
|
1
|
Ayam
broiler
|
+
|
32HAU
|
+
|
2
|
Ayam
layer
|
+
|
16HAU
|
_
|
3
|
Ayam
layer
|
+
|
4HAU
|
_
|
4
|
Ayam
buras
|
+
|
32HAU
|
_
|
5
|
Ayam
broiler
|
+
|
16HAU
|
+
|
6
|
Ayam
broiler
|
+
|
16HAU
|
+
|
7
|
Ayam
layer
|
+
|
8HAU
|
_
|
8
|
Ayam
buras
|
+
|
16HAU
|
_
|
Aktivitas HA
dihasilkan oleh saling adsorbsi dari permukaan virus (haemaglutinasi) dan
eritrosit. Adsorbsi dapat terjadi pada beberapa bagian dari permukaan virus
yaitu komponen sel yang mampu memberi respon untuk adsorbsi yang tersusun
teratur dan rapat pada permukaan sel atau epitop. Uji HA positif akan ditunjukan dengan adanya
agregat eritrosit yang berkeping-keping (Beard, 1989). Uji HA cepat biasanya dipakai untuk
mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA
lambat digunakan untuk mengetahui titer virus. Kemampuan virus
berikatan dengan
eritrosit ditandai dengan adanya hemaglutinasi. Titer virus dapat
diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya
hemaglutinasi positif yang ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar
sumur (Killian, 2007).
Uji
hemaglutnasi (HA) merupakan metoda yang memanfaatkan sifat hemaglutinasi virus yaitu protein
hemaglutinin terhadap
eritrosit yang dimiliki oleh Avian Influenza. Metoda ini banyak
digunakan dalam pengujian karena efektifitasnya, baik dalam waktu, biaya dan
kualitas. Hemaglutinasi
eritrosit oleh virus merupakan mekanisme menempelnya hemaglutinin pada permukaan sel darah merah (Swyne, 2003). Hal itu
dapat terjadi karena virus memiliki protein haemaglutinin yang dapat mengikat sel darah merah ayam. Virus – virus
tersebut dapat membentuk formasi teralis berupa endapan eritrosit. Formasi ini
dipengaruhi oleh faktor fisikokimia, seperti kekuatan ionik, pH dan suhu
(Tizard, 2004).
Tempat
menempel virus pada permukaan eritrosit merupakan bagian spesifik yang terdiri
dari karbohidrat (mukopolisakarida), tempat tersebut memiliki sifat seperti
lem. Perlekatan virus dengan eritrosit ini dalam jumlah dan waktu tertentu akan
membentuk masa gumpalan yang cukup berat hingga perlahan- lahan mengendap pada
dasar tabung/mikroplate dengan pola khas. Haemaglutinasi dihambat oleh enzim
neuromimidase pada virion. Enzim tersebut dapat menghancurkan
reseptor glikoprotein pada permukaan eritrosit dengan membuka terminal dari neuric acid dan membuat virus dapat
melepaskan diri. Sel darah merah yang terlepas tidak dapat lagi berikatan
dengan virus sejenis kecuali dengan virus lain. Namun virus masih dapat
mengaglutinasi sel darah merah yang baru karena reseptornya masih utuh.
Berdasarkan sifat tersebut pembacaan titer virus tidak dapat terlalu lama,
dilakukan secepatnya setelah kontrol virus dan kontrol reagen telah
memperlihatkan hasil yang dapat dibandingkan (White et.al.,1986).
Uji hemaglutinasi inhibisi merupakan uji
yang digunakan untuk mengidentifikasi virus dan mengetahui jumlah titer
antibodi yang ada. Uji ini didasarkan pada reaksi antara antigen –
antibodi dalam jumlah yang mencukupi
untuk membentuk kompleks dengan virion menyebabkan hemaglutinasi dihambat dan
akan membuat eritrosit mengendap didasar sumuran. Sebaliknya bila antibodi
terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit di aglutinasi oleh
virus (anonimus, 2007). HI
(+) ditandai dengan tidak terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan
virus untuk menghemaglutinasi telah dihambat oleh serum anti avian influenza. Sebaliknya HI (-)
terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk
menghemaglutinasi tidak dihambat oleh serum anti avian influenza.
Virus avian influenza memiliki kemampuan
mengaglutinasi terhadap sel darah merah ayam. Protein haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh
virus tersebut bersifat antigenik yang
dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi yang terbentuk
tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya aglutinasi darah yang
disebabkan oleh haemaglutinin dari virus. Hemaglutinasi inhibisi (HI) test
menggunakan reaksi hambatan hemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan
diagnosa penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh
(titer antibodi). Prinsip kerja dari hemaglutinasi inhibisi (HI) test ialah
mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu sehingga dapat
diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat
menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit (Anonimus, 2007).
BAB
V
KESIMPULAN
DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan
dari praktek yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan, pengujian hambatan
aglutinasi dan hemaglutinasi inhibisi dapat memberikan diagnosa yang dipakai
untuk peneguhan diagnosa terhadap virus avian influenza.
Saran
Perlu
pengadaan alat - alat yang lebih maju dalam pengujian di laboratorium, sehingga
semakin mudah dan cepat dalam mendiagnosa penyakit Avian influenza terutama dalam pengujian hambatan hemaglutinasi dan
haemaglutinasi inhibisi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimus. 2004. Aspek Veteriner dan Epidemiologi Avian
Influenza. Dirtjen Bina Produksi Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan.
4:4-6
Anonimus.2005. Uji hemaglutinasi untuk flu burung.
Bagian Laboratorium Virologi Diagnostik, layanan Kedokteran Hewan Nasional Laboratoris,
US Departeman Pertanian, Ames, IA, USA. Pp 1-5.
Anonimus. 2006. Strengthen AI Planning and Pandemic
Preparedness at The National, Provincial, and Local Government Level in
Coordination With the National Committee For AI.
USA. 8: 2-4
Anonimus.2007. Flu Burung. www.influenza
report.com by. Bernd Sebastian Kampz, Cristian Hoffmann and Wolfgang Preiser.
Pp 1- 29.
Anonimus.2008. Isolasi dan Identifikasi Serologis virus Avian Influenza dari sampel unggas yang diperoleh Di.D.IY dan Jawa
Tengah. Bagian Mikrobiologi, Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta.1-80.
Anonimus.
2009. influenza-hemagglutination-inhibition-assay. Hal 16-18.
Allan, W.H.,
Madeley, C.R., and Kendal, A.P. 1971. Studies with avian influenza A
viruses: Cross protection
Experiments in Chicken. J.Gen.Viral.
12: 79-84.
Ardans,
A. A. 1990. Veterinary Microbiology. Blackwell
Science. Hal. 396-401.
Beard, C.W. 1989. Serologic Procedure. In
Purchace, H.G., Arp, H.K., Domermuth,C.H., dan Pearson, J.E. A Laboratory
Manual for the Isolation and Identification of Avian Pathogen. Third
edition.Kendal/Hunt Publishing Company, Iowa. Pp : 192-200.
Behrens, G., and Matthias, S. 2006.
Phatogenesis and Immunology. www.
InfluenzaReport. com. Pp: 92-109.
Cox, J.R., and Haaheim, RL. 2007. Quality and Kinetics of the Antibody
Response in Mice after Three Different Low-Dose Influenza Virus Vaccination
Strategies. Clin Vaccine immunol. 14 (8): 978-983.
Esterday, B.C., Virginia, S., Hinshaw, and David, AH.
1997. Influenza in Disease of Poultry. Tenth Edition. Lowa State
University Press. Pp: 583-605.
Dharmayanti, N.L.P. I., and
Indriani, R. 2006. Deteksi Antibodi Avian Influenza dalam Kuning Telur Ayam
Pasca Vaksinasi (AI) Subtipe H5N1. Media
Kedokteran Hewan. 22: 84-88.
Fennner,
F.J.; Gibbs,E.P.; 1993. Orthomyxoviridae, dalam Veterinari Virologi, Secon
Edition. Academic Press Inc. London. Hal 511-515 dan 519-522.
Fourchier, R.A.M, Munster, V., Walltensen,
A., Besterbroer, T.M, Herfest, S.,Swith, D., Rimnelzwaan, G.F, Olsen, B., and
Osterhaus, A.D.M.E. 2005. Characterization
of Novel Influenza A Virus Hemaglutinin Subtype (H16) Obtained from Black
Headed Gulls. J. Virol. 79: 2814-2822.
Killian., 2007. Hemagglutination Assay for the Avian
Influenza Virus. From Methode in Molecular Biology. Avian Influenza Virus. Hal.
47-51.
Harder
dan Wener, 2006. Comparison of
Hemagglutination-Inhibition for Measuring Antibodies against Influenza Viruses
in Chickens. National
Institute for Veterinary Research, 99, Groeselenberg, 1180 Brussels, Belgium.
Hal 562.
Horimoto, T., and Kawaoka, Y. 2001. Pandemic Threat Posed
by Avian Influenza A Viruses. Clinical
Microbiology Reviews. 14 (1): 129-149.
Jordan, F.T.W. 1990. Poultry Disease. Third
Edition. The University Press, Cambridge, Great Britain. Pp:154-158.
Johansson, B.E, Bucher, D.J., and Kilbourne, E.D. 1988.
Purified Influenza Virus Hemagglutinin and Neuraminidase Are Equivalent in
Stimulation of Antibody Response but Induce Contrasting Types of Immunity to
Infection. Journal of Virology. 63 (3): 1239-1246.
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., and Studdert, M.J. 1996. Veterinary Virology. Third Edition.New
York: Elsevier. Pp: 459-468.
Rahardjo dan Yonathan. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian
dan Pemberantasannya. Edisi I. Penerbit Gallus Indonesia Utama. Jakarta.
Subbarrao, K.,
and Joseph, T. 2007. Scientific Barriers to Developing vacciunes against Avian
Influenza Viruses. Nature Rev. Immunol. 10: 1-12.
Suwarno,
Rahardjo, A.P., Fauziah, dan Srihanto, E.A. 2006. Karakterisasi Virus Avian
Influenza dengan Uji Serologik dan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain
Reaction. Media Kedokteran Hewan. 22
(2): 74-78.
Swyne,
D.E., and Halvorson, D.A. 2003. Influenza
in Disease of Poultry. 11th
Edition. Lowa State University Press. Pp: 135-158.
Tabbu,
C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Yogykarta.
Pp: 165-185.
Tizard,
I.R. 1988. Pengantar Imonologi Veteriner. Airlangga University Press,
Surabaya. Pages: 184-185.
Tumpey,
T.M., Alvarez, R,. Swyne, D.E., and Suarez, D.L. 2004. Diagnostic Approach for
Differentiating Infected from Vaccinated Poultry on the Basis of Antibodies to
NS1, the Nonstructural Protein of Influenza A virus. Journal of Clin.
Microbiology. 43 (2): 676-683.
Wibowo,
M.H., Susetya, H., Untari, T., Wahyuni, A.E.T.H., Tabbu, C.R, dan Asmara, W.
2007. Identifikasi Molekuler Virus Avian
Influenza yang Diisolasi
dari Kasus dengan dan tanpa Gejala Klinis yang Khas dari Penyakit Avian
Influenza. Jurnal Veteriner. 8 (3): 103-110.
Webster, G.R., Lu, B., and Hinshaw,
V.S. 1988. Failure to detect
hemagglutination-inhibiting antibodies with intact avian influenza virions.
Infection and Immunnity. 38
(2):530–535.
White
DO, Fenner FJ. 1986.Cultivitation and Assay of Virases. Medical Virology Third Edition. Pp:35-51. Academic Press, Inc
Harcout Brace Javanovic Publisher: USA.

Lampiran 1. Gambar perubahan patologi pada penyakit avian influenza.

Gambar 7.
Pendarahan meluas atau petechie sering
dijumpai pada
mukosa trakea, proventrikulus, usus, lapisan lemak.

Gambar 8. Pendarahan meluas atau petechie sering dijumpai pada
Proventrikulus.

Gambar 9. Pendarahan meluas atau petechie sering
dijumpai pada
bagian rongga tubuh.

Gambar 10. Petechie
pada sternum, pada serosa dan lemak abdominal,
permukaan serosa dalam rongga tubuh.
Lampiran 2. Gambar peralatan
dan media untuk diagnosa penyakit
avian
influenza

Gambar
11. Microplate dan cairan korioalantois
yang belum di uji HA dan HI

Gambar 12. Spuit yang berisi antibiotik untuk proses
inokulasi.

Gambar 13. Candlling
telur 3 hari yang telah diinokulasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar