Senin, 18 April 2016

Mengenal Flu Burung ( avian influenza )



BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Penyakit avian influenza terjadi di Indonesia dimulai sejak tahun 2003 dan tetap berlanjut sampai sekarang. Kejadian penyakit avian influenza bersifat endemis dan meluas hampir ke semua Propinsi di Indonesia. Dampak ekonomis akibat penyakit ini sangat berpengaruh terhadap industri dibidang perunggasan. Hal tersebut selain terjadi kematian unggas dalam jumlah tinggi, tetapi juga sangat berpengaruh dengan daya beli konsumen terhadap hasil dan produk perternakan, karena virus avian influenza berpotensi zoonotik, sehingga terjadi  pembatasan perdagangan produk – produk perunggasan baik yang bersifat lokal maupun internasional semakin berpengaruh terhadap kondisi usaha di bidang perunggasan (Anonimus, 2006). Kerugian yang diakibatkan wabah avian influenza antara lain adanya penurunan produksi yang dihasilkan, morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dan peningkatan biaya untuk penanggulangan, khususnya  biaya sanitasi dan desinfeksi (Tabbu, 2000).
Avian influenza adalah penyakit viral menular pada unggas terutama pada kalkun dan unggas liar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A yang termasuk dalam family orthomyxoviridae. Unggas yang terserang penyakit ini menunjukan gejala gangguan pernapasan, gangguan gastrointestinal dan menunjukan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi (Anonimus, 2009). Tingginya angka kematian akibat penyakit avian influenza tidak hanya terkait dengan strain virus dan status imun dari hospes penderita, tetapi juga tergantung pada spesies hewan yang terinfeksi, umur, terjadinya infeksi bersamaan, dan faktor lingkungan (Anonimus, 2009).
Penyebaran penyakit avian influenza tidak hanya terbatas pada satu jenis spesies unggas tetapi pada beberapa jenis spesies yang lain. Menurut informasi Direktoral Jendral Bina Produksi Hewan pada tahun 2005, spesies unggas yang terinfeksi virus avian influenza di Indonesia adalah ayam petelur, ayam pedaging, itik, entog, angsa, kalkun, burung puyuh, burung perkutut dan burung merak.  Penyakit avian influenza juga dapat menular ke manusia (zoonosis). Rute utama transmisi avian influenza ke manusia terjadi karena kontak langsung dengan unggas terinfeksi atau bahan yang terkontaminasi dengan materil fekal dari unggas terinfeksi. Berdasarkan studi epidemologik kejadian infeksi avian influenza pada manusia berasal dari unggas sedangkan penularan dari manusia ke manusia masih belum terbukti (Anonimus, 2008).
Di lapangan pengenalan penyakit avian influenza didasarkan atas gejala klinis yang ditimbulkan. Sejauh ini pengenalan patologi makros terutama lesi tersifat di lapangan sangat penting untuk membantu menegakan diagnosa penyakit unggas. Hal tersebut tidak lain untuk dapat segera memberikan penanganan penyakit, dalam rangka mengurangi potensi kerugian yang dapat ditimbulkan dari penyakit tersebut. Demikian halnya pada kasus penyakit avian influenza, adanya lesi tersifat sangat membantu peternak dan petugas di lapangan untuk mengenali penyakit tersebut (Anonimus, 2006).
Dengan melihat gejala klinis penyakit avian influenza di lapangan sangat dibutuhkan untuk dikaji lebih jauh, karena sejak muncul pertama kali sampai sekarang teramati variasi gejala klinis yang sangat nyata. Pada kasus di tahun 2003, banyak peternak bingung karena pada waktu itu terjadi kematian sejumlah ayam cukup tinggi tetapi tanpa teramati lesi spesifik tertentu, dan oleh karenanya sangat dimengerti ketika ada pernyataan bahwa kasus tersebut disebabkan oleh penyakit ND patogenisitas tinggi atau dikenal Velogenik Viserotropik Newcastle Diseases. Disamping itu penyakit avian influenza belum pernah ditemui dipeternakan di Indonesia, sehingga belum mempunyai pengalaman lapangan maupun yang berkaitan dengan penyakit avian influenza. Kematian ayam dalam jumlah tinggi tanpa ada lesi tersifat pada waktu itu memang disebabkan oleh kemampuan virus avian influenza untuk mengiduksi terjadinya apoptosis atau program kematian sel, sehingga penyakit berlangsung sangat akut. Kondisi demikian menyebabkan kematian ayam dengan cepat  dan belum sampai terlihat adanya kerusakan organ tertentu. Untuk itu diperlukan dukungan pemeriksaan laboratorium mikrobiologi (virology dan serology) dalam menegakkan diagnosa penyakit tersebut, salah satunya adalah pengujian hambatan aglutinasi (HA) dan uji hemaglutinasi inhibisi (HI) terhadap virus avian influenza.  Disampimg itu diperlukan monitoring terhadap perkembangan virus avian influenza  itu sendiri, tidak hanya pada dampak klinis yang ditimbulkan (Anonimus, 2006).
  1. Tujuan
Pengujian ini bertujuan untuk diagnosa virus avian influenza berdasarkan uji hambatan aglutinasi (HA) dan uji hemaglutinasi inhibisi (HI).
  1. Manfaat
Hasil dari pengujian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia pengetahuan pada umumnya dan dalam melakukan pengujian untuk diagnosa terhadap virus avian Influenza dengan uji hambatan aglutinasi dan hemaglutinasi  inhibisi.







BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Virus Avian Influenza
  1. Definisi
Avian influenza (AI) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh virus influenza type A yang tergolong dalam family Orthomyxoviridae. Virus influenza type A adalah virus yang dapat menjangkit beberapa jenis hewan termasuk unggas, babi, kuda, anjing laut dan ikan paus (Tabbu, 2000). Virus ini berukuran sedang atau medium, mempunyai genom RNA berbentuk helikal simetri, beramplop dengan memiliki glikoprotein (Fennner and  Gibbs, 1993).
   Unggas yang terserang penyakit ini tersifat dengan adanya gangguan pernapasan, murung, nafsu makan menurun, produksi telur menurun, bulu kusam dan kusut dan penurunan berat badan (Anonimus 2008). Infeksi pada ternak unggas menimbulkan sindrom yang khas berupa infeksi asymtomatik pada respirasi, penurunan produksi telur pada kasus yang berat, dan tingkat mortalitas yang dapat mencapai 100%.
Avian influenza yang menyebabkan kematian yang sangat tinggi pada unggas dilaporkan pertama kali pada tahun  1878 dan dikenal dengan nama fowl Plaque, kemudian diganti dengan istilah Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI), yang menyebabkan mortalitas yang  tinggi pada unggas (Anonimus, 2007).
Avian influenza mempunyai dampak ekonomik yang tinggi pada industri perunggasan oleh karena adanya morbiditas dan mortalitas yang tinggi, penurunan produksi, dan peningkatan biaya penanggulangan, khususnya biaya sanitasi atau desinfeksi (Tabbu, 2000). Disamping itu, virus juga bersifat zoonosis (dapat menular pada manusia) sehingga cara penanggulangannya menjadi semakin kompleks dan mahal. Penyakit ini dapat melalui udara yang tercemar virus H5N1 yang berasal dari kotoran atau sekreta burung atau unggas yang menderita influenza. Sampai saat ini belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia (Anonimus, 2007).
  1. Etiologi
Virus avian influenza dibagi menjadi tipe A, B, dan C. Tipe A paling sering menyerang burung-burung liar dan unggas di dunia (Cox and Haaheim, 2007). Klasifikasi virus avian influenza berdasarkan antigenitas glikoprotein hemaglutinin (H) dan neuraminidase (N) yang diekspresikan pada permukaan partikel virus (Fourchier et al., 2005).
Virus Influenza tergolong famili Orthomyxoviridae, genus influenza virus, terdiri dari single stranded (ss), negative sense ribbon nucleic acid (RNA), berbagai protein internal dan permukaan, dan suatu membran lipid di bagian luar (Murphy et al., 1996). Ribo nucleic acid (RNA) virus tersebut mempunyai 8 segmen RNA yang membentuk 11 protein yang terdapat pada permukaan maupun kapsid. Nukleokapsid berbentuk heliks dengan diameter 80-120 nm, mempunyai amplop lipid bilayer yang berasal dari hospes dan ditutupi oleh tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas hemaglutinasi dan neuraminidase (Murphy et al., 1996). Protein permukaan terdiri dari hemaglutinin (H), neuraminidase (N), dan matriks 2 (M2), protein kapsid meliputi nukleoprotein (NP), polimerase kompleks (PB1, PB2, PA), matriks M1, dan nonstruktural protein 1 dan 2 (NS1, NS2) (Horimoto and Kawaoka., 2001). Berdasarkan atas struktur antigen permukaan, yaitu H dan N, maka virus influenza A dikelompokkan lagi menjadi banyak subtipe. Dewasa ini dikenal 16 subtipe H (1-16) dan 9 subtipe N (1-9) (Subbarrao  and  Joseph,  2007). Protein H (HA) dan N (NA) yang terdapat pada permukaan merupakan antigen virus yang paling penting karena dapat merangsang terjadinya respon imun hospes terhadap infeksi (Jordan, 1990).


influenzafigure1

Gambar 1. Ilustrasi Struktur  Virus Avian Influenza (Anonimus, 2008)
Komponen glikoprotein permukaan virus yang sering digunakan sebagai antigen determinant, yaitu hemaglutinin (HA) dan neuramidase (NA) yang berperan dalam mutasi genetik virus AI melalui gene reassortment (pencampuran genetik). Pencampuran genetik melalui dua cara yaitu, shift antigenik dan drift antigenik (Subbarrao dan Joseph, 2007). Perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan HA dan atau NA disebut shift antigenik,  dan perubahan struktur antigenik yang bersifat minor dan berlangsung lama dikenal sebagai drift antigenik (Horimoto dan Kawaoka, 2001).
  1. Kejadian Penyakit
Para ahli melaporkan bahwa virus avian influenza A yang mempunyai banyak subtipe telah diisolasi dari berbagai unggas dan burung peliharaan. Virus ini dapat menimbulkan penyakit yang bervariasi keganasannya dari gangguan pernapasan yang ringan, yang bersifat tidak patogen sampai penyakit yang bersifat fatal  yang bersifat sangat patogen. Virus Influenza tipe A bersifat tidak patogen pada burung liar dan mempunyai hospes yang bervariasi, meliputi burung dan mamalia. Virus Influenza tersebut bereplikasi di dalam usus burung dan merupakan suatu cara penularan yang efisien dari virus tersebut diantara unggas air dan mungkin juga pada spesies hewan lainnya. Ada reservoir pada hewan liar merupakan suatu faktor penting dalam ekologi dari virus influenza. Virus yang khusus ditemukan pada unggas dapat berasal dari letupan penyakit mamalia, misalnya anjing laut, cerpelai dan ikan paus. Kenyataan tersebut menunjukan adanya virus pada unggas dapat ditularkan oleh mamalia atau sebaliknya (Anonimus, 2005).
  1. Hospes Avian Influenza
Virus avian influenza tipe A  dapat menyerang berbagai spesies, termasuk unggas, manusia, babi, kuda, dan mamalia lain seperti cerpelai, anjing laut dan ikan paus (Webster, et al,  1988.). Reservoir virus influenza A dan berbagai unggas air seperti bebek, unggas pantai, dan angsa (Horimoto and Kawaoka, 2001). Infeksi avian influenza pada unggas air liar tidak menunjukkan gejala klinis seperti pada ayam (Dharmayanti dan Indriani, 2006). Virus akan bereplikasi pada epitel intestinum dan mensekresikan virus yang cukup banyak melalui feses, sehingga akan terjadi penularan melalui rute fecal-oral. Migrasi unggas  air yang terinfeksi virus avian influenza diduga menyebabkan penyebaran virus antar benua (Murphy et al., 1996).
Tingkat keganasan virus avian influenza bervariasi dan dapat dibedakan atas virus low pathogenic avian influenza (LPAI) dan highly pathogenic avian influenza (HPAI) (Swyne and Halvorson, 2003). Virus LPAI dapat menimbulkan penyakit yang bersifat asimtomatik ataupun penyakit ringan yang terbatas pada saluran pernafasan  atau reproduksi dengan tingkat mortalitas rendah. Sebaliknya, virus HPAI dapat menimbulkan penyakit multisistemik dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Virus HPAI bersifat sangat menular dan dapat berasal dari virus LPAI melalui mutasi pada protein permukaan hemaglutinin (Tabbu, 2000).
E.     Patogenesis
Patogenisitas merupakan suatu interaksi antara hospes dan virus sehingga suatu virus influenza yang bersifat patogenik terhadap satu spesies unggas belum tentu bersifat patogenik untuk spesies yang lainnya (Easterday et al, 1997). Hal tersebut terjadi karena patogenisitas tergantung kepada sebuah konstelasi gen yang optimal yang mempengaruhi antara lain tropisme (reaksi kearah atau menjauhi stimulus) dari jaringan dan agen penyebab, efektivitas replikasi dan mekanisme penghindaran imunitas atau immune evasion mechanism (Harder dan Werner, 2006). Selain itu faktor spesifik pada tiap spesies berperan juga terhadap hasil suatu infeksi, yang terjadi setelah penularan antar spesies, dan karenanya tidak dapat di duga sebelumnya. Bentuk influenza unggas yang sangat patogen sampai saat ini secara ekskusif ditimbulkan oleh sub tipe H5 dan H7. Namun dalam kenyataannya hanya sebagian kecil subtipe H5 dan N7 yang menunjukan subtipe yang sangat patogen (Harder and Werner, 2006).
Virus avian influenza pada unggas mempunyai patogenisitas yang sangat bervariasi, hal ini tergantung pada strain dari virus, usia spesies, spesies yang terinfeksi, dan juga infeksi pada penyakit lain (Ardans, 1990) dan tidak dapat diramalkan berdasarkan hospesnya atau serotipe 4 antigenik dari virus tertentu (Tabbu, 2000). Berdasarkan tingkat patogenisitasnya, avian influenza dibagi menjadi avian influenza patogenisitas tinggi (Higly Pathogenic avian influenza atau HPAI) dan avian influenza petogenisitas rendah (Law Pathogenic Avian Influenza atau LPAI) ( Anonimus,  2009).
Salah satu ciri yang penting dari virus influenza adalah kemampuan untuk mengubah antigen permukaan HA dan NA secara cepat atau mendadak maupun lambat (bertahun-tahun). Virus avian influenza menginfeksi sel hospes dengan mengadakan ikatan dengan reseptor asam sialat yang terdapat pada permukaan sel hospes (Behren and Mathias, 2006).
Penyebaran virus avian influenza dapat melalui  leleran saluran repirasi dan feses dari unggas sakit (Tumpey et al., 2004). Infeksi virus avian influenza  pada sel hospes terjadi karena spikes (tonjolan) virus menempel pada reseptor spesifik sel hospes. Selanjutnya virus avian influenza akan melakukan penetrasi lebih dalam menuju sitoplasma kemudian ke inti sel hospes untuk mengintegrasikan materi genetiknya. Virus avian influenza  kemudian melakukan replikasi untuk membentuk virion-virion baru dan menginfeksi sel-sel baru di sekitarnya (Subbarrao dan Joseph, 2007). Virus avian influenza  akan menginfeksi epitel sel usus dan mengeluarkan virus dalam jumlah yang sangat banyak melalui feses.
  1. Cara Penularan
Penularan avian influenza dapat terjadi secara horizontal melalui kontak langsung antara ayam sakit dengan ayam yang peka. Ayam yang terinfeksi mengeluarkan virus dari saluran pernapasan, konjungtiva dan feses. Penularan dapat juga terjadi secara tidak langsung, misalnya melalui udara yang tercemar oleh material atau debu yang mengandung virus avian influenza (aerosol), makanan, minuman, alat atau perlengkapan peternakan, kandang, kurungan ayam, pakaian, kendaraan, peti telur, egg trays, burung, mamalia, dan insekta yang mengandung virus avian influenza (Tabbu, 2000). Sehubungan dengan cara penularan tersebut, maka virus influenza dapat disebarkan dengan mudah keberbagai daerah oleh orang atau perlengkapan dan kendaraan yang dipakai untuk memasarkan produk ternak unggas.
Sumber penularan virus influenza pada unggas adalah spesies unggas peliharaan lain, burung peliharaan, burung liar, dan hewan lain. Para ahli melaporkan adanya penularan virus tersebut dari itik ke ayam atau kalkun ke ayam, ayam mutiara dan burung merak. Sumber infeksi avian influenza dapat berasal dari burung liar, terutama unggas air yang berpindah - pindah. Penularan virus avian influenza dari babi ke kalkun dapat terjadi melalui pekerja atau alat tercemar virus tersebut setelah terjadi letupan virus tersebut pada babi.
Penularan virus avian influenza secara vertical (melalui telur) masih dipertanyakan, walaupun virus tersebut dapat di isolasi dari kerabang dan bagian dalam telur ayam yang terinfeksi oleh virus avian influenza (Tabbu, 2000).

  1. Gejala Klinis
Tingkat keganasan virus avian influenza merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap gangguan gejala klinis yang sangat bervariasi tergantung faktor spesies yang terserang, umur, kekebalan tubuh dan faktor lingkungan (Raharjo, 2004). Gejala pada unggas sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan (tanpa gejala), sampai sangat berat. Hal ini tergantung dari jenis virus yang menginfeksi, jenis unggas yang terinfeksi, dan penyakit- penyait lain yang ikut menginfeksi (Anonim, 2005).
Highly pathogenic avian influenza (HPAI) disebabkan oleh beberapa virus subtipe H5 dan H7, dan biasanya menyebabkan infeksi sistemik yang berdampak pada beberapa organ dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Low pathogenic avian influenza (LPAI) biasanya menyebabkan penyakit respirasi yang bersifat ringan dan penurunan produksi telur (Tumpey et al., 2004).
Masa inkubasi avian influenza pada unggas antara beberapa jam sampai tiga hari, tergantung pada jumlah virus, rute kontak, dan spesies unggas yang terserang (Tabbu, 2000). Bentuk akut ditandai dengan proses penyakit yang cepat serta mortalitas yang tinggi, gangguan pernafasan, lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, edema daerah kepala dan muka, perdarahan jaringan yang diikuti oleh sianosis pada kulit terutama  daerah muka, jengger, pial, dada, tungkai, dan telapak kaki (Esterday et al., 1997).
Pada bentuk yang sangat akut dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu (Tabbu, 2000). Infeksi virus avian influenza yang virulen (HPAI) menyebabkan terjadinya viremia dan multifokal nekrosis pada organ viseral dan limfoid, radang pankreas, miokarditis, miositis, dan encephalitis.
Ayam dan kalkun terinfeksi juga tampak eksudat yang bersifat serous dan terdapat hemoragi petechie pada organ respirasi, digesti, dan jantung. Radang kantung udara (air sacculitis)  dan kongesti paru juga dapat terjadi pada kalkun (Murphy et al,. 1996).
Seiring berjalannya waktu, kasus avian influenza di lapangan banyak yang tidak menimbulkan gejala khas penyakit avian influenza. Kejadian penyakit tidak secepat awal kemunculan avian influenza, namun morbiditas dan mortalitas masih tetap tinggi. Lesi spesifik pada ayam petelur tidak ditemui namun menunjukkan gejala penurunan produksi telur (Wibowo dkk., 2007).
Faktor predisposisi seperti lingkungan yang kurang baik, penggunaan vaksin virus hidup dan infeksi sekunder oleh virus, bakteri serta mikoplasma dapat memperparah gejala klinis (Fennner and Gibbs, 1993).



  1. Diagnosis
Peneguhan diagnosis avian influenza dapat dilakukan berdasarkan isolasi dan karakterisasi virus. Isolasi virus sering dilakukan pada telur ayam berembrio  (Johansson et al., 1988). Perkembangan selanjutnya, telur ayam berembrio menjadi sangat popular untuk proses identifikasi avian influenza karena keseragaman dan kepekaannya terhadap virus avian influenza. Virus avian influenza sudah dapat dideteksi pada cairan alantois sejak pasase pertama kali (Tumpey at al., 2004). Inokulasi pada ruang alantois secara teknik lebih mudah dilakukan daripada ruang amnion dan beberapa strain berkembang lebih cepat pada ruang alantois. Inokulasi pada ruang alantois dapat dilakukan pada embrio ayam umur 9 sampai 12 hari, namun lebih  disukai pada umur 10 hari (Tabbu, 2000).
Isolasi virus paling tepat di ambil dari organ respirasi seperti trakea, paru-paru, kantung hawa, dan eksudat dari sinus, dan dari saluran pencernakan (Beard, 1989). Beberapa virus avian influenza yang virulen dapat diisolasi dari organ hati, lien, maupun darah pada unggas yang menunjukkan gejala klinis. Swab pada kloaka paling umum dilakukan untuk isolasi virus pada  burung maupun unggas (Fourchier et al., 2005). Tingkat virulensi dari isolat virus avian influenza sangat bervariasi, dari mulai tidak tampak adanya gejala klinis sampai dengan tingkat kematian 100 % (Beard, 1989). Identifikasi secara serologik dapat menggunakan enzymed linked immunosorbent assay (ELISA), hemaglutinasi inhibisi (HI), imunodifusi (ID), dan western blot. Konfirmasi untuk menentukan subtipe virus dengan Polymerase Chain Reaction  PCR (Suwarno dkk., 2006).
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa beberapa virus mampu mengaglutinasi eritrosit unggas dan beberapa mamalia. Uji hemaglutinasi (HA) menjadi tes yang penting untuk mengetahui adanya sifat virus yang mampu mengaglutinasi  eritrosit dan dapat digunakan untuk mengukur titer virus (Allan et al., 1971). Untuk dapat mengetahui titer antibodi maka dapat menggunakan uji  yang disebut uji hambatan aglutinasi atau hemaglutinasi inhibisi (HI). Prinsip dari uji hemaglutinasi inhibisi lambat untuk mengetahui adanya antibodi yang mampu menghambat proses hemaglutinasi oleh virus. Bila terdapat antibodi dalam jumlah mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion, hemaglutinasi dihambat, dan eritrosit mengendap. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit diaglutinasi oleh virus dan membentuk agregat (Allan et al., 1971).
Haemaglutinasi (HA) dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk mengenali kemampuan suatu virus, sedangkan uji hambatan hemaglutinasi oleh antibodi spesifik dapat digunakan sebagai cara untuk mengenali isolat virus tertentu atau mengukur titer antibodi dalam serum (Tizard, 1988). Aglutinasi pada eritrosit ayam dapat terjadi  setelah dicampur dengan cairan alantois yang diketahui mengandung virus influenza dalam jumlah cukup banyak.  Berbagai penelitian menunjukkan bahwa beberapa virus mampu mengaglutinasi eritrosit unggas dan beberapa mamalia. Uji HA menjadi sarana tes yang penting untuk mengetahui adanya beberapa virus  dan dapat digunakan untuk mengetahui kuantitasnya dalam cairan alantois (Killian, 2007).
Aktivitas  Haemaglutinasi dihasilkan oleh saling adsorbsi dari permukaan virus dan eritrosit. Adsorbsi dapat terjadi pada beberapa bagian dari permukaan virus yaitu komponen sel yang mampu memberi respon untuk adsorbsi yang tersusun teratur dan rapat pada permukaan sel atau epitop. Uji HA positif akan menunjukkan adanya suspensi agregat eritrosit yang berkeping-keping (Beard, 1989). Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer virus, kemampuan virus dalam menginfeksi yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi eritrosit. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif yang ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumur (Killian, 2007).


BABIII
METODE PENELITIAN
  1. Tempat dan waktu praktek kerja lapangan
Praktek kerja lapangan ini dilakukan di Laboratorium Balai Besar Veteriner. Waktu kegiatan praktek kerja lapangan mulai dari tanggal 28 Januari 2011.
  1. Materi
Mikropipet 25µl, multichannel pipet 25 µl, mikrotip, microdiluter 25µl, mikroplat 96 sumuran dengan dasar V atau U, sentrifuse, incubator, mortir dan pastel steril, gunting dan pinset steril, spuit 1cc, egg puncher atau pelubang telur, paraffin, pensil cina, rak telur dan rak tabung, egg candler atau peneropong telur, kulkas, pipet Pasteur, tabung reaksi 5ml dan 10 ml.  Bahan yang digunakan di Balai Besar Veteriner antara lain suspensi sel darah ayam (s.d.m) 1%, phosphate buffer saline (PBS) pH 7,2 – 7,4, NaCl fisiologis, aquades, alkohol 70%, antibiotik penicillin dan streptomicin 2mg/ml, gentamycin 50µg/ml, telur ayam bertunas sebanyak 30 butir yang berumur 9-11 hari, cairan alantois.
  1. Metode
Sampel yang digunakan berupa darah dan organ – organ predileksi spesifik seperti hati, limpa, otak, ginjal dan paru – paru yang dicurigai terinfeksi virus avian influenza. Jumlah sampel yang diuji sebanyak 8 sampel dari ternak ayam dan unggas lainnya yang berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Madura. Sampel yang dikirim berasal dari dinas maupun sampel yang dikirim secara perorangan.
  1. Pembuatan suspensi virus
Organ digerus di dalam mortir dengan ditambahkan PBS 1: 4 (1 bagian organ dan 4 bagian PBS), kemudian dimasukkan ke dalam tabung untuk disentrifuse (15 menit 3000 rpm), supernatan diambil dan dimasukkan ke dalam tabung baru, ditambahkan antibiotika serta antifungi broadspectrum (penecilin dan streptomicin), diinkubasi selama 3 jam 37ºC. Untuk mengetahui kemungkinan adanya kontaminasi dilakukan penanaman pada media pertumbuhan bakteri atau perbenihan kaldu dan pelat agar darah kemudian diinkubasi selama 18 – 24 jam dalam inkubator suhu 37ºC, selanjutnya diamati ada pertumbuhan bakteri atau tidak. Apabila tidak ada berarti suspensi virus yang diperoleh layak ditanam ke dalam telur ayam berembrio (TAB SPF).
  1. Pembuatan  suspensi eritrosit ayam
Darah diperoleh dari ayam lewat vena sayap dengan menggunakan spuit disposabel. Darah yang diambil harus dari ayam sehat dan tidak divaksin dengan vaksin virus Avian Influenza milik BBvet, kemudian darah dicampur dengan Na Sitrat dengan perbandingan 4:1.
Darah diencerkan dengan cara disentrifuse 3000 rpm selama 10 menit,  diambil endapannya, dilakukan selama tiga kali. Untuk mengetahui konsentrasi eritrosit maka eritrosit dimasukan dalam tabung mikrohematocrit selanjutnya disentrifuse selama 10 menit. Eritrosit kemudian diencerkan dengan phosphate buffer saline (PBS) menjadi 1% untuk pengujian hemaglutinasi. Cara pembuatan sel darah ayam 1% yaitu 1 bagian suspensi sel darah ayam dari stok ditambah 9 bagian PBS pH 7,2 – 7,4.
F.     Mempersiapkan TAB
Telur ayam berembrio yang telah dieramkan 10-14 hari diteropong dengan lampu di kamar gelap, untuk mengetahui  mati atau hidup (egg candling). Bila ada yang mati ditindaklanjuti dengan memasukan telur ayam tersebut ke dalam kulkas selama 3-4 jam.  Telur ayam berembrio (TAB) yang hidup dikumpulkan untuk diinokulasi, diberi tanda dengan pensil dimana letak kepala embrio dan batas rongga udara agar lokasi inokulasi benar.
G.    Inokulasi suspensi virus
Telur diletakkan pada rak telur (egg try) dengan posisi rongga udara  di atas, kemudian telur didesinfeksi pada daerah di atas rongga udara dan dibuat lubang dengan egg puncher di daerah tersebut. Dengan menggunakan pompa suntik diinokulasikan 0,1 – 0,2 ml inokulum dengan cara memasukkan jarum secara vertikal ke dalam rongga udara sampai mengenai permukaan cairan korioalantois atau membran kerabang. Jarum  tidak boleh digerakkan, untuk menghindari robeknya CAM yang dapat menyebabkan perdarahan dan kematian embrio. Lubang ditutup dengan parafin dan telur dikembalikan ke dalam inkubator yang bersuhu 37oC selama 4 hari untuk pasase pertama. Peneropongan dilakukan setiap hari. Bila ada telur yang mati ditindaklanjuti dengan memasukan telur ayam tersebut kedalam kulkas selama 3-4 jam. Kemudian panen dengan menggunting kerabang telur disekitar rongga udara, cairan alantoisnya dihisap dengan menggunakan spuit semaksimal mungkin.
H.    Panen virus
Virus dipanen dengan cara telur didesinfeksi dengan menggunakan alkohol 70 % ditambah biocid atau jodium tincture. Kerabang telur kemudian dibuat lubang sebesar atau lebih sedikit dari rongga udara, membran korio allantois digunting  berbentuk bundaran. Dengan pinset embrio ditekan kesamping akan terlihat cairan  allantois dihisap dengan pompa suntik 5 ml, diteteskan 0,25 ml cairan alantois ke dalam perbenihan kaldu dan pada pelat agar darah untuk menguji ada tidaknya pertumbuhan bakteri.
Virus dipanen kemudian dilakukan uji untuk membuktikan virus yang tumbuh adalah virus yang dimaksud yaitu Avian influenza dengan uji Hambatan Aglutinasi dan Hemaglutinasi Inhibisi.
Tujuan uji HA cepat adalah untuk mengetahui apakah virus tersebut dapat menghemaglutinasi eritrosit ayam.  Jika hasilnya positif maka dilanjutkan dengan identifikasi virus dengan metode hemaglutinasi inhibisi cepat berdasarkan antibodi yang digunakan. Untuk menguji virus Avian Influenza maka harus dipakai antibodi virus Avian Influenza.

  1. Cara uji hambatan aglutinasi (HA) cepat
 Cairan alantois ditambah  satu tetes eritosit ayam yang diduga mengandung virus Avian Influenza ditetesi pada objek gelas, dan satu tetes lagi di tempat yang berjauhan sebagai kontrol. Objek gelas di goyang – goyang,  tunggu 5 menit diamati kemudian dibandingkan dengan kontrol. HA (+) akan terjadi hemaglutinasi yaitu terlihat agregat – agregat eritrosit yang berkeping- keping yang berarti virus tersebut mampu menghemaglutinasi eritrosit. Sebaliknya HA (-) tidak terjadi hemaglutinasi yang ditandai dengan tidak terdapat agregat – agregat yang berarti virus tersebut tidak mampu menghemaglutinasi eritrosit.
  1. Cara uji hemaglutinasi inhibisi (HI) cepat
Cairan alantois ditetesi pada 2 tempat yang terpisah pada objek glass, satu tetes ditambah dengan serum anti avian influenza dicampur dan tunggu selama 5 menit. Eritrosit ayam diteteskan dan dicampur kemudian  tunggu selama 5 menit. HI (+) ditandai dengan tidak terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk menghemaglutinasi telah dihambat oleh serum anti avian influenza. Sebaliknya HI (-) terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk menghemaglutinasi tidak dihambat oleh serum anti avian influenza.
  1. Uji Haemaglutinasi
Untuk mengetahui aktivitas hemaglutinasi dan titer virus digunakan uji HA. Prosedur uji tersebut adalah sumuran microplate no. 1-12 diisi dengan 0,25µl PBS/ NaCl fisiologis. Sebanyak 0,25µl antigen virus avian influenza diisikan pada sumuran menggunakan mikropipet dan dicampur menggunakan diluter. Campuran dari sumuran pertama dipindahkan sebanyak 0,25µl ke sumuran kedua menggunakan diluter, dan dari lubang kedua dipindahkan ke lubang ketiga dan seterusnya sampai lubang ke-11. Dari sumuran 11 setelah diambil 0,25µl, larutan dibuang kedalam beaker buangan yang berisi larutan desinfeksi. Kemudian sumuran 1-12 masing-masing diisi 0,25µl pengencer (PBS). Eritrosit ayam atau RBC 1% sebanyak 25µl dimasukan ke sumuran 1-12. Kocok dengan alat pengocok atau dengan tangan, diinkubasi pada suhu ruangan ± 40 menit atau sampai s.d.m. pada sumuran 12 mengendap. Pembacaan hasil dilihat pada saat sumuran ke-12 terjadi endapan eritrosit, pembacaan baru dimulai (Beard, 1989).




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Virus  Avian Influenza  mempunyai beberapa macam protein, salah satu diantaranya hemaglutinin.  Antigen ini mempunyai  kemampuan mengikat sel darah merah (s.d.m) ayam, sehingga apabila suspensi virus / antigen Avian Influenza  dicampur dengan suspensi sel darah merah ayam akan terjadi aglutinasi  s.d.m ayam.  Aglutinasi / ikatan ini bersifat reversibel. Sifat ini dapat digunakan untuk mengukur jumlah  titer virus / antigen Avian Influenza ( Anonimus, 2007).
Sampel yang diperiksa dengan uji hambatan aglutinasi (HA) dan hemaglutinasi inhibisi (HI) menjadi uji yang penting untuk mengetahui adanya sifat virus yang mampu mengaglutinasi eritrosit dan dapat digunakan untuk mengukur titer virus  maupun  titer antibodi.


 





Gambar 2. Uji HA lambat pada plat mikro.
Gambar (a). HA (-) Pada dasar sumuran terjadi pengendapan sel darah merah ayam. Gambar (b). HA (+) Pada dasar sumuran terdapat hemaglutinasi sel darah merah ayam.
b
 
a
 

Gambar 3. Uji HA cepat pada kaca benda.
Gambar (a). HA (+), Eritrosit ayam + cairan korioalantois, tampak suspensi agregat eritrosit. Adanya aglutinasi s.d.m ( seperti butiran pasir) terutama pada bagian tepi campuran suspensi. Gambar (b). HA (-) Eritrosit ayam tanpa cairan alantois, tidak ada suspensi agregat eritrosit suspensi tetap homogen.



b
 
a
 

Gambar 4. Uji HI cepat pada kaca benda.
Gambar (a). HI (+)  Cairan korioalantois + serum anti avian influenza + eritrosit ayam, tidak terjadi aglutinasi. Gambar (b). HI (-) Cairan korioalantois + eritrosit ayam, tampak adanya aglutinasi.

Gambar 6.Panen virus pada telur Spesific Phatogen Free (SPF)

Jumlah sampel yang diuji sebanyak 8 sampel yang diperoleh dari ternak ayam dan unggas lainnya yang dicurigai terinfeksi Avian Influenza berdasarkan gejala klinis yang spesifik, yang  berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa dan Madura. Uji HA dari semua sampel yang diuji menunjukan hasil positif dan yang menunjukan hasil positif teridentifikasi virus Avian Influenza sebanyak 3 sampel.  Tabel 1. Hasil uji HA dan HI beberapa sampel yang terdiagnosa virus Avian Influenza.
No
Isolate
HA
Titer HA
HI
1
Ayam broiler
+
32HAU
+
2
Ayam layer
+
16HAU
_
3
Ayam layer
+
4HAU
_
4
Ayam buras
+
32HAU
_
5
Ayam broiler
+
16HAU
+
6
Ayam broiler
+
16HAU
+
7
Ayam layer
+
8HAU
_
8
Ayam buras
+
16HAU
_
Aktivitas HA dihasilkan oleh saling adsorbsi dari permukaan virus (haemaglutinasi) dan eritrosit. Adsorbsi dapat terjadi pada beberapa bagian dari permukaan virus yaitu komponen sel yang mampu memberi respon untuk adsorbsi yang tersusun teratur dan rapat pada permukaan sel atau epitop. Uji HA positif akan ditunjukan  dengan adanya  agregat eritrosit yang berkeping-keping (Beard, 1989). Uji HA cepat biasanya dipakai untuk mengidentifikasi virus yang mampu menghemaglutinasi eritrosit ayam. Uji HA lambat digunakan untuk mengetahui titer virus. Kemampuan virus berikatan dengan eritrosit ditandai dengan adanya hemaglutinasi. Titer virus dapat diketahui dengan melihat sumuran terakhir pada nomor tertinggi (end point) yang menunjukkan adanya hemaglutinasi positif yang ditandai dengan adanya agregat-agregat di dasar sumur (Killian, 2007).
Uji hemaglutnasi (HA) merupakan metoda yang memanfaatkan sifat hemaglutinasi virus yaitu protein hemaglutinin terhadap eritrosit yang dimiliki oleh Avian Influenza. Metoda ini banyak digunakan dalam pengujian karena efektifitasnya, baik dalam waktu, biaya dan kualitas. Hemaglutinasi eritrosit oleh virus merupakan mekanisme menempelnya hemaglutinin pada permukaan sel darah merah (Swyne, 2003). Hal itu dapat terjadi karena virus memiliki protein haemaglutinin yang dapat mengikat sel darah merah ayam. Virus – virus tersebut dapat membentuk formasi teralis berupa endapan eritrosit. Formasi ini dipengaruhi oleh faktor fisikokimia, seperti kekuatan ionik, pH dan suhu (Tizard, 2004).
Tempat menempel virus pada permukaan eritrosit merupakan bagian spesifik yang terdiri dari karbohidrat (mukopolisakarida), tempat tersebut memiliki sifat seperti lem. Perlekatan virus dengan eritrosit ini dalam jumlah dan waktu tertentu akan membentuk masa gumpalan yang cukup berat hingga perlahan- lahan mengendap pada dasar tabung/mikroplate dengan pola khas. Haemaglutinasi dihambat oleh enzim neuromimidase pada virion. Enzim tersebut dapat menghancurkan reseptor glikoprotein pada permukaan eritrosit dengan membuka terminal dari neuric acid dan membuat virus dapat melepaskan diri. Sel darah merah yang terlepas tidak dapat lagi berikatan dengan virus sejenis kecuali dengan virus lain. Namun virus masih dapat mengaglutinasi sel darah merah yang baru karena reseptornya masih utuh. Berdasarkan sifat tersebut pembacaan titer virus tidak dapat terlalu lama, dilakukan secepatnya setelah kontrol virus dan kontrol reagen telah memperlihatkan hasil yang dapat dibandingkan (White et.al.,1986).
Uji hemaglutinasi inhibisi merupakan uji yang digunakan untuk mengidentifikasi virus dan mengetahui jumlah titer antibodi yang ada. Uji ini didasarkan pada reaksi antara antigen – antibodi  dalam jumlah yang mencukupi untuk membentuk kompleks dengan virion menyebabkan hemaglutinasi dihambat dan akan membuat eritrosit mengendap didasar sumuran. Sebaliknya bila antibodi terdapat dalam jumlah yang tidak mencukupi maka eritrosit di aglutinasi oleh virus (anonimus, 2007). HI (+) ditandai dengan tidak terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk menghemaglutinasi telah dihambat oleh serum anti avian influenza. Sebaliknya HI (-) terjadi hemaglutinasi yang menandakan bahwa kemampuan virus untuk menghemaglutinasi tidak dihambat oleh serum anti avian influenza.
Virus avian influenza memiliki kemampuan mengaglutinasi terhadap sel darah merah ayam. Protein  haemaglutinin yang terdapat dalam tubuh virus  tersebut bersifat antigenik yang dapat merangsang terbentuknya antibodi spesifik. Antibodi yang terbentuk tersebut memiliki kemampuan mengambat terjadinya aglutinasi darah yang disebabkan oleh haemaglutinin dari virus. Hemaglutinasi inhibisi (HI) test menggunakan reaksi hambatan hemaglutinasi tersebut untuk membantu menentukan diagnosa penyakit secara laboratorium dan mengetahui status kekebalan tubuh (titer antibodi). Prinsip kerja dari  hemaglutinasi inhibisi (HI) test ialah mereaksikan antigen dan serum dengan pengenceran tertentu sehingga dapat diketahui sampai pengenceran berapa antibodi yang terkandung dalam serum dapat menghambat terjadinya aglutinasi eritrosit (Anonimus, 2007).









BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Berdasarkan dari praktek yang telah dilakukan  diperoleh kesimpulan, pengujian hambatan aglutinasi dan hemaglutinasi inhibisi dapat memberikan diagnosa yang dipakai untuk peneguhan  diagnosa  terhadap virus avian influenza.

Saran
Perlu pengadaan alat - alat yang lebih maju dalam pengujian di laboratorium, sehingga semakin mudah dan cepat dalam mendiagnosa penyakit Avian influenza terutama dalam pengujian hambatan hemaglutinasi dan haemaglutinasi inhibisi.












DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2004. Aspek Veteriner dan Epidemiologi Avian Influenza. Dirtjen Bina Produksi Peternakan. Direktorat Kesehatan Hewan. 4:4-6
Anonimus.2005. Uji hemaglutinasi untuk flu burung. Bagian Laboratorium Virologi Diagnostik, layanan Kedokteran Hewan Nasional  Laboratoris, US Departeman Pertanian, Ames, IA, USA. Pp 1-5.
Anonimus. 2006. Strengthen AI Planning and Pandemic Preparedness at The National, Provincial, and Local Government Level in Coordination With the National Committee For AI. USA. 8: 2-4
Anonimus.2007. Flu Burung. www.influenza report.com by. Bernd Sebastian Kampz, Cristian Hoffmann and Wolfgang Preiser. Pp 1- 29.
Anonimus.2008. Isolasi dan Identifikasi Serologis virus Avian Influenza dari sampel unggas yang diperoleh Di.D.IY dan Jawa Tengah. Bagian Mikrobiologi, Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.1-80.
Anonimus. 2009. influenza-hemagglutination-inhibition-assay. Hal 16-18.
Allan, W.H., Madeley, C.R., and Kendal, A.P. 1971. Studies with avian influenza A viruses: Cross protection Experiments in Chicken. J.Gen.Viral. 12: 79-84.
Ardans, A. A. 1990. Veterinary Microbiology. Blackwell Science. Hal. 396-401.
Beard, C.W. 1989. Serologic Procedure. In Purchace, H.G., Arp, H.K., Domermuth,C.H., dan Pearson, J.E. A Laboratory Manual for the Isolation and Identification of Avian Pathogen. Third edition.Kendal/Hunt Publishing Company, Iowa. Pp : 192-200.
Behrens, G., and Matthias, S. 2006. Phatogenesis and Immunology. www. InfluenzaReport. com. Pp: 92-109.
Cox, J.R., and Haaheim, RL. 2007. Quality and Kinetics of the Antibody Response in Mice after Three Different Low-Dose Influenza Virus Vaccination Strategies. Clin Vaccine immunol. 14 (8): 978-983.
Esterday, B.C., Virginia, S., Hinshaw, and David, AH. 1997. Influenza in Disease of  Poultry. Tenth Edition. Lowa State University Press. Pp: 583-605.
Dharmayanti, N.L.P. I., and Indriani, R. 2006. Deteksi Antibodi Avian Influenza dalam Kuning Telur Ayam Pasca Vaksinasi (AI) Subtipe H5N1. Media Kedokteran Hewan. 22: 84-88.
Fennner, F.J.; Gibbs,E.P.; 1993. Orthomyxoviridae, dalam Veterinari Virologi, Secon Edition. Academic Press Inc. London. Hal 511-515 dan 519-522.

Fourchier, R.A.M, Munster, V., Walltensen, A., Besterbroer, T.M, Herfest, S.,Swith, D., Rimnelzwaan, G.F, Olsen, B., and Osterhaus, A.D.M.E. 2005. Characterization of Novel Influenza A Virus Hemaglutinin Subtype (H16) Obtained from Black Headed Gulls. J. Virol. 79: 2814-2822.
Killian., 2007. Hemagglutination Assay for the Avian Influenza Virus. From Methode in Molecular Biology. Avian Influenza Virus. Hal. 47-51.
Harder dan Wener, 2006. Comparison of Hemagglutination-Inhibition for Measuring Antibodies against Influenza Viruses in Chickens. National Institute for Veterinary Research, 99, Groeselenberg, 1180 Brussels, Belgium. Hal 562.
Horimoto, T., and Kawaoka, Y. 2001. Pandemic Threat Posed by Avian Influenza A Viruses. Clinical Microbiology Reviews. 14 (1): 129-149.
Jordan, F.T.W. 1990. Poultry Disease. Third Edition. The University Press, Cambridge, Great Britain. Pp:154-158.
Johansson, B.E, Bucher, D.J., and Kilbourne, E.D. 1988. Purified Influenza Virus Hemagglutinin and Neuraminidase Are Equivalent in Stimulation of Antibody Response but Induce Contrasting Types of Immunity to Infection. Journal of Virology. 63 (3): 1239-1246.
Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., and Studdert, M.J. 1996. Veterinary Virology. Third Edition.New York: Elsevier. Pp: 459-468.
Rahardjo dan Yonathan. 2004. Avian Influenza, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasannya. Edisi I. Penerbit Gallus Indonesia Utama. Jakarta.
Subbarrao, K., and Joseph, T. 2007. Scientific Barriers to Developing vacciunes against Avian Influenza Viruses. Nature Rev. Immunol. 10: 1-12.
Suwarno, Rahardjo, A.P., Fauziah, dan Srihanto, E.A. 2006. Karakterisasi Virus Avian Influenza dengan Uji Serologik dan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction. Media Kedokteran Hewan. 22 (2): 74-78.
Swyne, D.E., and Halvorson, D.A. 2003. Influenza in Disease of Poultry. 11th Edition. Lowa State University Press. Pp: 135-158.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulanganya. Yogykarta. Pp: 165-185.
Tizard, I.R. 1988. Pengantar Imonologi Veteriner. Airlangga University Press, Surabaya. Pages: 184-185.
Tumpey, T.M., Alvarez, R,. Swyne, D.E., and Suarez, D.L. 2004. Diagnostic Approach for Differentiating Infected from Vaccinated Poultry on the Basis of Antibodies to NS1, the Nonstructural Protein of Influenza A virus. Journal of Clin. Microbiology. 43 (2): 676-683.
Wibowo, M.H., Susetya, H., Untari, T., Wahyuni, A.E.T.H., Tabbu, C.R, dan Asmara, W. 2007. Identifikasi Molekuler Virus Avian Influenza yang Diisolasi dari Kasus dengan dan tanpa Gejala Klinis yang Khas dari Penyakit Avian Influenza. Jurnal Veteriner. 8 (3): 103-110.
Webster, G.R., Lu, B., and Hinshaw, V.S. 1988. Failure to detect hemagglutination-inhibiting antibodies with intact avian influenza virions. Infection and Immunnity. 38 (2):530–535.
White DO, Fenner FJ. 1986.Cultivitation and Assay of Virases. Medical Virology Third Edition. Pp:35-51. Academic Press, Inc Harcout Brace Javanovic Publisher: USA.












LAMPIRAN





Lampiran 1.  Gambar perubahan patologi  pada penyakit avian influenza.
Gambar  7. Pendarahan meluas atau petechie  sering dijumpai pada 
mukosa trakea, proventrikulus, usus, lapisan lemak.


Gambar  8. Pendarahan meluas atau petechie sering dijumpai pada 
Proventrikulus.
Gambar 9. Pendarahan meluas atau petechie sering
dijumpai pada  bagian rongga tubuh.


Gambar 10. Petechie pada sternum, pada serosa dan lemak abdominal,  permukaan  serosa dalam rongga tubuh.




Lampiran 2. Gambar  peralatan  dan media untuk diagnosa penyakit
 avian influenza

Gambar 11. Microplate dan cairan korioalantois
yang belum di uji HA dan HI


Gambar 12. Spuit yang berisi antibiotik untuk proses inokulasi.
Gambar 13. Candlling telur 3 hari yang telah diinokulasi.


Tidak ada komentar: