Senin, 20 Juni 2016

Brucellosis Pada Sapi Perah


            BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang

      Kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat pesat sesuai dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, perlu peningkatan penyediaan sumber gizi, antara lain protein hewani asal sapi perah berupa susu. Pembangunan sub-sektor peternakan, khususnya sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber protein hewani.
      Untuk memperoleh produk susu yang bermutu tinggi memerlukan modal dasar manusia itu sendiri dan Sumber Daya Alam. Manusia sebagai modal dasar merupakan kunci keberhasilan usaha, terutama jika mereka menguasai ilmu dan mampu menerapkan teknologi( Anonim, 1995).
      Pada mulanya air susu hanya dikomsumsi didaerah tertentu saja seperti perkotaan, tetapi seiring perkembangan zaman dan teknologi yang berkembang pesat dan peningkatan taraf hidup, kini produk susu telah memasyarakat.
      Disisi lain para peternak tidak dituntut harus tahu masalah-masalah Kedokteran Hewan.akan tetapi,mereka perlu ditumbuhkan minatnya dalam usaha pencegahan dan pembasmian penyakit-penyakit yang biasanya berjangkit pada sapi perah,yang dapat mengakibatkan penurunan produksi air susu.salah satunya penyakit Brucellosis.
Penyakit Brucellosis dapat menular secara primer menyerang sapi, kambing dan babi. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Brucellosis dapat berupa kluron pada sapi terjadi pada masa kebuntingan 7 bulan, anak hewan yang dilahirkan lemah kemudian mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi yang mengakibatkan kemajiran temporer dan permanen. Kerugian pada sapi perah berupa turunnya produksi air susu. Orang biasanya terinfeksi karena minum susu sapi dari hewan sakit yang tidak dimasak sempurna, karena menolong dan  menangani kelahiran atau mengambil plasenta yang tertinggal(Akoso,1992;Anonim,1995).        
Penanganan Brucellosis melalui pengujian test and slaughter selama ini belum bisa berjalan secara maksimal kerena pengujian test and slaughter belum dapat dilaksanakan secara massal dan serempak di Indonesia dan mutasi ternak yang cepat dan tinggi sehingga masih banyak reaktor positif Brucellosis yang belum tuntas dipotong.
Dalam rangka mendukung upaya pembebasan Brucellosis Tahun 2012 maka perlu diambil langkah-langkah teknis dan strategis yang dirasa lebih efektif daripada Test and Slaughter yaitu dengan menerapkan Program Vaksinasi Brucellosis


1.2  Tujuan

a.       Mengamankan Kesahatan Masyarakat Veteriner dari Penyakit Brucellosis.
b.      Memperkecil kerugian ekonomis akibat keguguran dan kematian sapi perah.

1.3  Manfaat

a.       Mengetahui sejauh mana kejadian dan situasi epideniologi Brucellosis pada sapi perah rakyat, perusahaan maupun milik KUD atau Koperasi yang ada di kabupaten Blitar.
b.      Mengadakan pengamatan dini penyakit (Early Warning System) dan Kewaspadaan Dini Penyakit Menular.
c.       Melaksanakan Program Vaksinasi sebagai langkah Pencegahan dan Pembebasan Brucellosis Tahun 2012 di Kabupaten Blitar.




















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Brucellosis telah lama di kenal dan diketahui menyerang berbagai jenis hewan yang disebabkan brucella sp. Dan dapat menular pada manusia (Akoso, 1996; Soeharsono, 2002). Penyakitnya ditandai oleh peradangan selaput lendir janin yang mengakibatkan terjadinya keguguran atau janin prematur, biasanya kluron pada sapi terjadi pada masa kebuntingan 5-8 bulan. Angka kematian induk sangat kecil atau tidak terjadi, namun kerugian ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa kluron anak, anak lahir lemah dan kemudian mati, gangguan alat reproduksi yang menyebabkan kemajiran. Pada sapi perah terjadi penurunan prodoksi susu(Akoso, 1996).

2.1 Penyebab
               Penyebab Brucellosis adalah bakteri Brucella Abortus, berbantuk coccobacillus atau batang pendek, bersifat gram negatif dan tidak bermotil( Soeharsono, 2002). Bruce(1887) berhasil mengiolasi jasad remik penyebab keguguran dan menyebutnya sebagai Micrococcus malitensis, salanjutnya Bang dan Stribolt(1897) mengisolasi jasad remik serupa dari sapi yang menderita kluron menular dan diberi nama Bacillus Abortus Bovis(Akoso, 1996; Baraniah, 2009).
               Genus Bruccela memiliki enam spesies yaitu Br. melitensis, Br. abortus, Br. suis, Br. neotomae, Br. ovis dan Br. canis. Diantara spesies-spesies ini yang sering menimbulkan masalah bagi ternak adalah Br. militensis yang menyerang kambing. Br. abortus yang menyerang sapi dan Br. suis yang menyerang babi. Penyakit akibat infeksi Br. abortus pada orang disebut Demam Undulan, sedangkan infeksi oleh Br. militensis disebut Demam Malta(Anonim, 1995).
               Orang biasanya terinfeksi karena minum air susu sapi dari hewan penderita yang tidak dimasak sempurna, karena menolong kelahiran atau mengambil plasenta yang tertinggal. Bakteri tersebut merusak alat reproduksi, terutama dinding rahim, fetus, selaput lendir dan ambing atau testis sapi pejantan(Akoso, 1996; Sjafarjanto, 2005).
2.2 Penularan
               Infeksi terjadi melalui saluran pencernaan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan juga dapat terjadi melalui Inseminasi Buatan. Penularan pada petugas di laboratorium juga dapat terjadi. Sapi yang mengalami keguguran oleh Brucellosis mengeluarkan bakteri Br. abortus dalam jumlah besar melalui membran fetus, cairan reproduksi, urine, feces. Bahan-bahan tersebut akan mencemari rumput atau air minum. Pada manusia penyakit dapat menular memalui air kencing yang tidak mengalami pastuerisasi(Akoso, 1996; Soeharsono, 2002l; Anonim, 1995).


2.3 Gejala klinis
               Pada hewan penderita biasanya tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang menonjol atau mencolok. Brucellosis pada sapi terutama dipengaruhi oleh umur sapi tersebut sewaktu terinfeksi, jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Ank sapi yang lahir dari induk terinfeksi akan menjadi karier sampai usia dewasa.
               Gejala yang paling menciri adalah keguguran janin antara bulan ke 5 sampai ke 8. sapi betina yang Abortus dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen. Dan setelah mengalami abortus, sering terjadi penyakit retensio secundinarum. Pada kejadian tertentu, nak sapi dapat lahir sempurna tetapi lemah atau terjandi plasenta tertinggal. Tertinggalnya plasenta yang disertai proses infeksi dapat menyebabkan sapi menjadi steril. Pada ambing dan alat-alat reproduksi mengalami pembengkakan( Anonim, 1995; Akoso, 1996).
2.4 Perubahan Pascamati
               Lessi karena Brucellosis tidak potognomonik. Plasenta menebal dengan bercak kemerahan pada lapisan Chorion. Cairan janin keruh, berwarna kuning-coklat dan adakalanya berisi nanah. Sering ditemukan plasentitis necrotican Ucerativa. Ambing yang terserang manjadi mastits. Pada hewan pejantan dapat ditemukan Vesiculitis Seminal, Epidydinitis dan Orchitis yang dapat melanjut kepembentukan absces dan Nekrosis Jaringan( Akoso, 1996; Sjafarjanto, 2005).
2.5 Diagnosis
               Apabila sapi mengalami keguguran, contoh serum darah harus segera diambil dan contoh yang kedua 30 hari setelah keguran. Ini adalah cara terbaik untuk peneguhan diagnosa. Kemudian dikirim kelaboratorium dengan menggunakan tremos es atau cukup ditambah satu bagian asam borak 10% kedalam 10 bagian spesimen darah. Untuk screening, digunakan uji Rose Bengal Test (RBT). Uji ini mudah, murah, dan cepat, tetapi spesifitasnya kurang tinggi. Serum yang positif terhadap uji Rose Bengal Test perlu dilanjutkan dengan uji Reaksi Pengikat Complemen (CFT) atau ELISA. Untuk darah baru, pengukuhan diagnosis harus dilanjutkan dengan isolasi Br. Abortus( Akoso,1996; Soeharsono, 2002).
               Uji serum Aglutinasi pada manusia sering ditemukan negatif palsu, meskipun sebenarnya mempunyai titer yang tinggi. Untuk mengatasi hal ini digunakan uji Coombs atau Anti Human Globi Test, disamping uji serum Aglutinasi dan uji pengikatan Complemen.
               Isolasi Br. abortus pada sapi dilakukan dengan mengirim cairan Hidroma, Membran Fetus, susu, Kelenjer Limfe Supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke laboratorium ( Soeharsono, 2002).
               Interpretasi dan tindak lanjut sehubungan dengan uji ini memerlukan konsultasi dengan Dokter  Hewan. Peneguhan yang lebih menyakinkan dengan jalan isolasi dan indentifikasi.
  


      Diagnosa Banding

               Penyakit ini dapat dikacaukan dengan penyebab keguguran yang lain seperti Tricomoniasis, Leptospirosis dan Vibriosis(Kompilobakteriosisi).


2.6 Pengendalian atau Pencegahan

               Pencegahan Brucellosis di Tingkat Peternakan dilakukan dengan kombinasi antara kebersihan, menejemen beternak yang baik, dan vaksinasi. Perhatian khusus terhadap sapi yang bunting bila terjadi keguguran harus segera diupayakan isolasi kuman dengan pengiriman Spesimen ke Laboratorium.
               Pada hewan, khususnya sapi, kasus brucellosis tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu, tindakan yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi kurang dari 2 % dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan(Test and Slaughter), sedangkan daerah dengan prevalensi 2% atau lebih dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin aktif Br. Abortus Strain 19, terutama sapi-sapi muda berumur 4-6 bulan. Sapi yang umurnya kurang dari 4 bulan belum boleh divaksin(Akoso, 1996; Anonim, 1995; Soeharsono, 2002).
               Pada manusia pengobatan dapat dilakukan dengan Tetrasiklin yang diberikan selama 2-4 Minggu. Pada kondisi yang lebih parah, pengobatan dapat dikombinasikan dengan Streptomisin. Kekambuhan (relaps) dapat dikurangi dengan cara pengobatan ulang( Soeharsono, 2002).

2.7 Kejadian di Indonesia
               Brucellosis sudah lama dikenal di Indonesia terutama sejak di Jawa ditemukan kasus pada sapi perah oleh Donker-Voet menjelang Perang dunia II. Dari waktu kewaktu, penyakit ini semakin menyebar ke banyak tempat di Indonesia antara lain Sumatra, Jawa,Sulawesi, Irian, dan Bali. Di Jawa dengan sistem pemeliharaan sapi potong yang terawat baik secara individual dengan pemilikan jumlah kecil, Brucellosis tidak menjadi masalah. Tetapi pada sapi perah merupakan masalah yang cukup rumit dalam pemberantasannya. Di Pulau Jawa Brucellosis pada sapi perah antara lain ditemukan di Jakarta, Semarang, Purworejo, Kodya Yogyakarta, Bantul, Pasuruhan, kediri, Blitar, Surabaya, Probolinggo, dan Malang. Selama tahun 1994, di Indonesia brucellosis dilaporkan di Propinsi Aceh, Sumatra Barat, Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi selatan, dan Irian Jaya( Akoso,1996).



2.8 Pemotongan Hewan

               Sapi yang menderita Brucellosis dapat dipotong untuk komsumsi dibawah pengawasan dokter hewan. Pemotongan dilakukan dengan menghindari faktor pencemaran lingkungan. Tempat pemotongan harus segera dibersihkan dan dibebashamakan. Bila terdapat eksudat dan sarang nikrosis pada organ dalam, maka saluran organ dalam, kelenjar getih bening, dan tulang harus dimusnahkan. Daging dapat dijual setelah dilayukan. Sisa pemotongan dimusnahkan dengan dibakar dan dikubur( Akoso, 1996; Anonim,2002).     
                                    





















BAB III
MATERI DAN METODE

                                                                             
3.1       Tempat dan Waktu
            Pelaksanaan dilakukan di Dinas Peternakan Blitar, Guna mengambil data adanya kasus Brucellosis pada sapi perah selama periode 2008.

3.2              Materi

Cara pengambilan data diambil dari data sekunder kasus Brucellosis pada sapi perah di Dinas Peternakan Blitar periode Januari sampai Desember 2008.
            Alat dan bahan yang diperlukan pada saat pemeriksaan Rose Bengal Plate Test  ( RBPT ) adalah sebagai berikut :





Alat:
  1. Pipet Pasteur
  2. WHO plate
 

Bahan:
  1. Antigen Rose Bengal
  2. Serum Positif dan Negatif Brucella Abortus
  3. Serum yang akan diuji
 

 






3.3       Metode
                        Adapun cara pemeriksaan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.      Plat WHO disiapkan dan diteteskan 1 tetes serum positif dan negatif Brucella sp masing-masing pada satu deret lubang plat dan pada lubang plat yang lain diteteskan 1 tetes serum yang akan diuji.
2.      Antigen ditambahkan pada semua lubang dan diayak berputar atau digoyang-goyangkan sampai homogen.
3.      Reaksi antigen-antibodi diamati dalam beberapa menit, apabila positif ditandai dengan aglutinasi ( gumpalan bentuk pasir ). Pembacaan dilakukan mulai menit Pertama sampai keempat. Apabila terjadi aglutinasi pada menit 0-1 : positif (+) 3, menit 1-2 : positif 2 dan menit 2-3 : positif 1 dan aglutinasi yang terjadi setelah menit ke-4 : dianggap negatif.


Tidak ada komentar: