BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kebutuhan protein hewani masyarakat
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat pesat sesuai dengan bertambahnya
jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu, perlu peningkatan
penyediaan sumber gizi, antara lain protein hewani asal sapi perah berupa susu.
Pembangunan sub-sektor peternakan, khususnya sapi perah, merupakan salah satu
alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber protein hewani.
Untuk memperoleh produk susu yang bermutu
tinggi memerlukan modal dasar manusia itu sendiri dan Sumber Daya Alam. Manusia
sebagai modal dasar merupakan kunci keberhasilan usaha, terutama jika mereka
menguasai ilmu dan mampu menerapkan teknologi( Anonim, 1995).
Pada mulanya air susu hanya dikomsumsi
didaerah tertentu saja seperti perkotaan, tetapi seiring perkembangan zaman dan
teknologi yang berkembang pesat dan peningkatan taraf hidup, kini produk susu
telah memasyarakat.
Disisi lain para peternak tidak dituntut
harus tahu masalah-masalah Kedokteran Hewan.akan tetapi,mereka perlu
ditumbuhkan minatnya dalam usaha pencegahan dan pembasmian penyakit-penyakit
yang biasanya berjangkit pada sapi perah,yang dapat mengakibatkan penurunan
produksi air susu.salah satunya penyakit Brucellosis.
Penyakit Brucellosis dapat menular secara primer menyerang sapi, kambing
dan babi. Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh Brucellosis dapat berupa kluron
pada sapi terjadi pada masa kebuntingan 7 bulan, anak hewan yang dilahirkan
lemah kemudian mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi yang
mengakibatkan kemajiran temporer dan permanen. Kerugian pada sapi perah berupa
turunnya produksi air susu. Orang biasanya terinfeksi karena minum susu sapi
dari hewan sakit yang tidak dimasak sempurna, karena menolong dan menangani kelahiran atau mengambil plasenta
yang tertinggal(Akoso,1992;Anonim,1995).
Penanganan Brucellosis melalui pengujian test and slaughter selama ini
belum bisa berjalan secara maksimal kerena pengujian test and slaughter belum
dapat dilaksanakan secara massal dan serempak di Indonesia dan mutasi ternak
yang cepat dan tinggi sehingga masih banyak reaktor positif Brucellosis yang
belum tuntas dipotong.
Dalam rangka mendukung upaya pembebasan Brucellosis Tahun 2012 maka perlu
diambil langkah-langkah teknis dan strategis yang dirasa lebih efektif daripada
Test and Slaughter yaitu dengan menerapkan Program Vaksinasi Brucellosis
1.2
Tujuan
a.
Mengamankan Kesahatan Masyarakat Veteriner dari Penyakit
Brucellosis.
b.
Memperkecil kerugian ekonomis akibat keguguran dan
kematian sapi perah.
1.3
Manfaat
a.
Mengetahui sejauh mana kejadian dan situasi epideniologi
Brucellosis pada sapi perah rakyat, perusahaan maupun milik KUD atau Koperasi
yang ada di kabupaten Blitar.
b.
Mengadakan pengamatan dini penyakit (Early Warning
System) dan Kewaspadaan Dini Penyakit Menular.
c.
Melaksanakan Program Vaksinasi sebagai langkah Pencegahan
dan Pembebasan Brucellosis Tahun 2012 di Kabupaten Blitar.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Brucellosis
telah lama di kenal dan diketahui menyerang berbagai jenis hewan yang
disebabkan brucella sp. Dan dapat
menular pada manusia (Akoso, 1996; Soeharsono, 2002). Penyakitnya ditandai oleh
peradangan selaput lendir janin yang mengakibatkan terjadinya keguguran atau
janin prematur, biasanya kluron pada sapi terjadi pada masa kebuntingan 5-8
bulan. Angka kematian induk sangat kecil atau tidak terjadi, namun kerugian
ekonomi yang ditimbulkan sangat besar berupa kluron anak, anak lahir lemah dan
kemudian mati, gangguan alat reproduksi yang menyebabkan kemajiran. Pada sapi
perah terjadi penurunan prodoksi susu(Akoso, 1996).
2.1
Penyebab
Penyebab Brucellosis adalah
bakteri Brucella Abortus, berbantuk
coccobacillus atau batang pendek, bersifat gram negatif dan tidak bermotil(
Soeharsono, 2002). Bruce(1887) berhasil mengiolasi jasad remik penyebab
keguguran dan menyebutnya sebagai Micrococcus
malitensis, salanjutnya Bang dan Stribolt(1897) mengisolasi jasad remik
serupa dari sapi yang menderita kluron menular dan diberi nama Bacillus Abortus Bovis(Akoso, 1996;
Baraniah, 2009).
Genus Bruccela memiliki enam
spesies yaitu Br. melitensis, Br.
abortus, Br. suis, Br. neotomae, Br. ovis dan Br. canis. Diantara
spesies-spesies ini yang sering menimbulkan masalah bagi ternak adalah Br. militensis yang menyerang kambing.
Br. abortus yang menyerang sapi dan Br.
suis yang menyerang babi. Penyakit akibat infeksi Br. abortus pada orang disebut Demam Undulan, sedangkan infeksi
oleh Br. militensis disebut Demam Malta(Anonim, 1995).
Orang biasanya terinfeksi karena
minum air susu sapi dari hewan penderita yang tidak dimasak sempurna, karena
menolong kelahiran atau mengambil plasenta yang tertinggal. Bakteri tersebut
merusak alat reproduksi, terutama dinding rahim, fetus, selaput lendir dan
ambing atau testis sapi pejantan(Akoso, 1996; Sjafarjanto, 2005).
2.2
Penularan
Infeksi terjadi melalui saluran
pencernaan, saluran kelamin, selaput lendir atau kulit yang luka. Penularan
juga dapat terjadi melalui Inseminasi Buatan. Penularan pada petugas di
laboratorium juga dapat terjadi. Sapi yang mengalami keguguran oleh Brucellosis
mengeluarkan bakteri Br. abortus dalam
jumlah besar melalui membran fetus, cairan reproduksi, urine, feces.
Bahan-bahan tersebut akan mencemari rumput atau air minum. Pada manusia
penyakit dapat menular memalui air kencing yang tidak mengalami
pastuerisasi(Akoso, 1996; Soeharsono, 2002l; Anonim, 1995).
2.3
Gejala klinis
Pada hewan penderita biasanya
tidak menunjukkan gejala-gejala klinis yang menonjol atau mencolok. Brucellosis
pada sapi terutama dipengaruhi oleh umur sapi tersebut sewaktu terinfeksi,
jumlah kuman dan tingkat virulensinya. Ank sapi yang lahir dari induk
terinfeksi akan menjadi karier sampai usia dewasa.
Gejala
yang paling menciri adalah keguguran janin antara bulan ke 5 sampai ke 8. sapi
betina yang Abortus dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen. Dan
setelah mengalami abortus, sering terjadi penyakit retensio secundinarum. Pada
kejadian tertentu, nak sapi dapat lahir sempurna tetapi lemah atau terjandi
plasenta tertinggal. Tertinggalnya plasenta yang disertai proses infeksi dapat
menyebabkan sapi menjadi steril. Pada ambing dan alat-alat reproduksi mengalami
pembengkakan( Anonim, 1995; Akoso, 1996).
2.4
Perubahan Pascamati
Lessi karena Brucellosis tidak
potognomonik. Plasenta menebal dengan bercak kemerahan pada lapisan Chorion. Cairan janin keruh, berwarna
kuning-coklat dan adakalanya berisi nanah. Sering ditemukan plasentitis necrotican Ucerativa. Ambing
yang terserang manjadi mastits. Pada hewan pejantan dapat ditemukan Vesiculitis
Seminal, Epidydinitis dan Orchitis yang dapat melanjut kepembentukan absces dan
Nekrosis Jaringan( Akoso, 1996; Sjafarjanto, 2005).
2.5
Diagnosis
Apabila sapi mengalami keguguran,
contoh serum darah harus segera diambil dan contoh yang kedua 30 hari setelah
keguran. Ini adalah cara terbaik untuk peneguhan diagnosa. Kemudian dikirim
kelaboratorium dengan menggunakan tremos es atau cukup ditambah satu bagian asam
borak 10% kedalam 10 bagian spesimen darah. Untuk screening, digunakan uji Rose
Bengal Test (RBT). Uji ini mudah, murah, dan cepat, tetapi spesifitasnya kurang
tinggi. Serum yang positif terhadap uji Rose Bengal Test perlu dilanjutkan
dengan uji Reaksi Pengikat Complemen (CFT) atau ELISA. Untuk darah baru,
pengukuhan diagnosis harus dilanjutkan dengan isolasi Br. Abortus( Akoso,1996;
Soeharsono, 2002).
Uji serum Aglutinasi pada manusia
sering ditemukan negatif palsu, meskipun sebenarnya mempunyai titer yang
tinggi. Untuk mengatasi hal ini digunakan uji Coombs atau Anti Human Globi
Test, disamping uji serum Aglutinasi dan uji pengikatan Complemen.
Isolasi Br. abortus pada sapi
dilakukan dengan mengirim cairan Hidroma, Membran Fetus, susu, Kelenjer Limfe
Supramamaria dalam keadaan segar dan dingin ke laboratorium ( Soeharsono,
2002).
Interpretasi dan tindak lanjut
sehubungan dengan uji ini memerlukan konsultasi dengan Dokter Hewan. Peneguhan yang lebih menyakinkan
dengan jalan isolasi dan indentifikasi.
Diagnosa
Banding
Penyakit ini dapat dikacaukan
dengan penyebab keguguran yang lain seperti Tricomoniasis, Leptospirosis dan
Vibriosis(Kompilobakteriosisi).
2.6
Pengendalian atau Pencegahan
Pencegahan Brucellosis di Tingkat
Peternakan dilakukan dengan kombinasi antara kebersihan, menejemen beternak
yang baik, dan vaksinasi. Perhatian khusus terhadap sapi yang bunting bila
terjadi keguguran harus segera diupayakan isolasi kuman dengan pengiriman
Spesimen ke Laboratorium.
Pada hewan, khususnya sapi, kasus
brucellosis tidak berespon baik terhadap pengobatan. Oleh karena itu, tindakan
yang dilakukan didasarkan pada tinggi rendahnya prevalensi kurang dari 2 %
dilakukan tindakan pengujian dan pemotongan(Test and Slaughter), sedangkan
daerah dengan prevalensi 2% atau lebih dilakukan vaksinasi menggunakan vaksin
aktif Br. Abortus Strain 19, terutama sapi-sapi muda berumur 4-6 bulan. Sapi
yang umurnya kurang dari 4 bulan belum boleh divaksin(Akoso, 1996; Anonim,
1995; Soeharsono, 2002).
Pada manusia pengobatan dapat
dilakukan dengan Tetrasiklin yang diberikan selama 2-4 Minggu. Pada kondisi
yang lebih parah, pengobatan dapat dikombinasikan dengan Streptomisin.
Kekambuhan (relaps) dapat dikurangi dengan cara pengobatan ulang( Soeharsono,
2002).
2.7
Kejadian di Indonesia
Brucellosis sudah lama dikenal di
Indonesia terutama sejak di Jawa ditemukan kasus pada sapi perah oleh
Donker-Voet menjelang Perang dunia II. Dari waktu kewaktu, penyakit ini semakin
menyebar ke banyak tempat di Indonesia antara lain Sumatra, Jawa,Sulawesi,
Irian, dan Bali. Di Jawa dengan sistem pemeliharaan sapi potong yang terawat
baik secara individual dengan pemilikan jumlah kecil, Brucellosis tidak menjadi
masalah. Tetapi pada sapi perah merupakan masalah yang cukup rumit dalam pemberantasannya.
Di Pulau Jawa Brucellosis pada sapi perah antara lain ditemukan di Jakarta,
Semarang, Purworejo, Kodya Yogyakarta, Bantul, Pasuruhan, kediri, Blitar,
Surabaya, Probolinggo, dan Malang. Selama tahun 1994, di Indonesia brucellosis
dilaporkan di Propinsi Aceh, Sumatra Barat, Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan
Selatan, Sulawesi selatan, dan Irian Jaya( Akoso,1996).
2.8
Pemotongan Hewan
Sapi yang menderita Brucellosis
dapat dipotong untuk komsumsi dibawah pengawasan dokter hewan. Pemotongan dilakukan
dengan menghindari faktor pencemaran lingkungan. Tempat pemotongan harus segera
dibersihkan dan dibebashamakan. Bila terdapat eksudat dan sarang nikrosis pada
organ dalam, maka saluran organ dalam, kelenjar getih bening, dan tulang harus
dimusnahkan. Daging dapat dijual setelah dilayukan. Sisa pemotongan dimusnahkan
dengan dibakar dan dikubur( Akoso, 1996; Anonim,2002).
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Pelaksanaan
dilakukan di Dinas Peternakan Blitar, Guna mengambil data adanya kasus
Brucellosis pada sapi perah selama periode 2008.
3.2
Materi
Cara pengambilan data diambil
dari data sekunder kasus Brucellosis pada sapi perah di Dinas Peternakan Blitar
periode Januari sampai Desember 2008.
Alat
dan bahan yang diperlukan pada saat pemeriksaan Rose Bengal Plate Test ( RBPT ) adalah sebagai berikut :
|
|
||||
3.3 Metode
Adapun cara pemeriksaan
yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1.
Plat WHO disiapkan dan diteteskan
1 tetes serum positif dan negatif Brucella
sp masing-masing pada satu deret
lubang plat dan pada lubang plat yang lain diteteskan 1 tetes serum yang akan
diuji.
2.
Antigen ditambahkan pada semua
lubang dan diayak berputar atau digoyang-goyangkan sampai homogen.
3.
Reaksi antigen-antibodi diamati
dalam beberapa menit, apabila positif ditandai dengan aglutinasi ( gumpalan
bentuk pasir ). Pembacaan dilakukan mulai menit Pertama sampai keempat. Apabila
terjadi aglutinasi pada menit 0-1 : positif (+) 3, menit 1-2 : positif 2 dan
menit 2-3 : positif 1 dan aglutinasi yang terjadi setelah menit ke-4 : dianggap
negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar