I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang masalah
Pada tanggal 8 Juni 2011 lalu
pemerintah Australia membuat keputusan untuk menghentikan ekspor sapi hidup ke
Indonesia, dan pada bulan Juli 2011 secara resmi pemerintah Australia
mencabut kembali larangan ekspor sapi hidup yang telah dibuatnya.
Pencabutan larangan ekspor tadi
diakibatkan oleh besarnya tingkat tekanan yang diberikan oleh para peternak
Australia yang merasa dirugikan dengan pilihan sikap yang telah diambil oleh pihak
pemerintahannya tersebut. Reaksi besar peternak Australia ini sudah banyak
diduga sejak dari sebelum-sebelumnya, sehubungan pihak peternak Australia
mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pasar sapi Indonesia. Karena
Indonesia merupakan tujuan utama penjualan (ekspor) sapi kepunyaan mereka
selama ini. Dimana nilainya mencapai angka 60-80% total ekspor hewan dan daging
sapi yang diekspor oleh negara tersebut per tahunnya.
Pada awalnya pelarangan ekspor sapi
hidup yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tersebut, dipicu oleh hasil
temuan para aktivis pecinta binatang asal Australia. Dimana dari hasil tinjauan
langsung mereka, para aktivis tadi melihat bahwa sapi-sapi hidup asal Australia
diperlakukan secara sadis di beberapa Rumah Potong Hewan (RPH) Indonesia. Perlakuan yang dianggap oleh mereka
biadab tersebut kemudian di rekam dalam bentuk video, lalu selanjutnya
mereka tayangkan di stasiun televisi ABC (Australian Broadcasting Corporation).
Tayangan tersebut kemudian memancing reaksi sangat keras organisasi-organisasi
pecinta binatang Australia sekaligus pula para politikus di sana untuk kemudian
menekan pihak pemerintah Australia agar menghentikan ekspor sapi hidup ke Indonesia.
Melalui pencabutan pelarangan ekspor sapi hidup ini tampak
terlihat bahwa pemerintah Australia mencari jalan tengah atas dua tekanan yang
menghimpit kepadanya. Pertama tekanan dari para aktivis binatang, sebagai pihak
yang pro terhadap pelarangan ekspor. Kedua tekanan dari para peternak yang
menuntut dibukanya kembali keran ekspor sapi hidup ke Indonesia.
Sikap kompromi terhadap dua tekanan
besar tersebut tampak dari syarat yang diberikan oleh Australia terhadap
Indonesia sebagai bagian dari syarat dicabutnya kembali pelarangan ekspor sapi
hidup di atas. Dimana Indonesia "diwajibkan" membenahi sistem
penanganan sapi-sapi hidup asal Australia, mulai dari saat dalam proses
perjalanan pengiriman, massa penggemukan, hingga proses pemotongan di RPH.
Semuanya wajib menjaga prinsip-prinsip kesejahteraan ternak (Animal Welfare).
Australia memang salah satu Negara
yang cukup konsen dengan prinsip-prinsip Animal
Welfare, dimana sebelumnya pun mereka telah melakukan sikap yang sama
terhadap Negara Mesir pada tahun 2006 silam. Saat itu akibat kasus yang hampir
mirip dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, Negara Mesir diembargo
oleh Australia. (Hidayat, 2011)
1.2 Rumusan
Masalah
Bagaimanakah
hubungan antara praktek pemotongan sapi di RPH tradisional dengan prosedur
pemotongan sapi yang sesuai dengan Animal
Welfare?
1.3. Tujuan Penulisan
Untuk
mengetahui hubungan antara pemotongan sapi di RPH tradisional dengan prosedur
pemotongan sapi yang sesuai dengan Animal
Welfare.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Animal Welfare
Kebanyakan dari masyarakat umum
kurang familiar dengan istilah Animal Welfare. Animal welfare atau dalam makna
harfiahnya kesejahteraan hewan merupakan suatu langkah atau program budidaya
ternak berlandaskan paradigma baru yang mendasarkan pada kebutuhan naluri alami
dari hewan tersebut atau istilah lainnya lebih memperhatikan peri kemanusian
pada hewan ternak.
American Veterinary Medical
Association (AVMA) mendeskripsikan bahwa Animal Welfare adalah sebuah tanggung
jawab manusia atas semua aspek yang memberikan kenyamanan kepada hewan,
termasuk didalamnya mempersiapkan kandang, manajemen, nutrisi, pencegahan
penyakit dan perawatan, pemeliharaan yang baik, penanganan yang baik, dan
penyembelihan yang tidak menyiksa.
Indonesia
sendiri sebenarnya telah sejak dari dahulu konsens dengan masalah ini, hal ini
tampak terlihat dari struktur perangkat hukum yang sudah dimiliki guna
mengatur hal itu. Seperti tercantum pada Undang-Undang No 6 tahun 1967 pasal 22
tentang bagaimana aturan pemberlakuan keharusan dalam memperlakukan ternak
selama dalam kandang, saat pemeliharaan, saat pengangkutan, serta saat
dalam pemanfaatan oleh manusia, serta saat pemotongan.
Semuanya harus berazaskan pada sikap perlakuan yang wajar
yang menjaga kenyamanan hidup sang hewan. Artinya bahwa apa yang terjadi di
beberapa RPH yang menurut hasil tinjauan para aktivis pecinta binatang
Australia dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsif-prinsif animal
welfare adalah bersumber dari masih terdapatnya kesenjangan yang berjarak
antara peraturan dengan praktik dilapangan.
Apalagi
dengan prinsif ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) yang dipegang oleh Indonesia
dalam proses penyediaan daging nasional selayaknya harus menjadi pegangan bahwa
seluruh proses penanganan hewan ternak pada pra maupun pasca penyembelihan
harus berdasarkan pada peraturan yang ada. Termasuk diantaranya salah satu
keharusan tentang terjaminnya kehalalan daging yang dihasilkan.
Dalam
Bahasa Indonesia animal welfare diartikan sebagai kesejahteraan satwa
yaitu suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa
sehingga berdampak ada peningkatan sistem psikologi dan fisiologi satwa.
Kegiatan ini merupakan kepedulian manusia yang diberikan dengan tujuan
meningkatkan kualitas hidup secara individual terutama bagi satwa yang
terkurung dalam kandang atau terikat tanpa bisa leluasa bergerak. The five of
freedom (lima hak kebebasan) merupakan pedoman untuk mengetahui apakah
satwa-satwa tersebut sejahtera dan sekaligus langkah yang tepat dalam
meningkatkan kesejahteraan satwa. The five of freedom itu adalah :
1. BEBAS DARI RASA LAPAR DAN
HAUS Tersedianya air minum dan makan yang layak, higienis dan memenuhi gizi
serta sesuai dengan musim. Pemberian makanan yang tepat dan proporsional.
2. BEBAS DARI RASA PANAS DAN
TIDAK NYAMAN Adanya tempat berteduh, area untuk istirahat dan fasilitas yang
sesuai dengan perilaku satwa.
3. BEBAS DARI LUKA, PENYAKIT DAN
SAKIT Pengobatan dan pencegahan penyakit, diagnosa yang cepat dan tepat serta
lingkungan yang higienis sehingga kuman patogen (bahaya) dapat dicegah dan
dikontrol.
4. BEBAS MENGEKSPRESIKAN
PERILAKU NORMAL DAN ALAMI Tersedianya ruang tempat tinggal yang memadai,
fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku (behavior) satwa dan adanya
teman untuk berinteraksi sosial.
5. BEBAS DARI RASA TAKUT DAN
PENDERITAAN Tidak ada konflik (pertengkaran) antar atau lain species, tidak
adanya gangguan dari hewan pemangsa (predator).
Semua
hewan (peternakan, untuk dipekerjakan, kesayangan, percobaan, untuk
pertunjukkan bahkan yang masih liar sekalipun) menginginkan adanya kondisi
lingkungan yag alamiah, aman dan nyaman. Perlakuan yang tidak menyiksa dan
melukai hewan.stress merupakan tanda hewan tidak sejahtera. Bila terus dibiarkan
akan berdampak pada gangguan reproduksi,metabolisme, fungsi immune (kekebalan
tubuh), tingkah laku, pertumbuhan serta perkembangan dari satwa tersebut. Stres
tidak bisa dibiarkan terus menerus, harus segera dicegah dan tingkatkan
kesejahteraan satwa. Dari sudut pandang dokter hewan stress merupakan bahaya
potensial yang berdampak pada semua aspek kesehatan satwa. ( Wardhan,
2012)
2.2 Praktek pemotongan sapi
berdasarkan animal welfare/Prosedur Standar Operasional Pemotongan Sapi
UU
no 18 tahun 2009 pasal 66 ayat 2 point f dan g,
menerangakan bahwa pemotongan dan
pembunuhan hewan dilakukan dengan sebak-baiknya sehinga hewan bebas dari rasa
sakit, takut dan tertekan , penganiayaan dan penyalahgunaan dan,
perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan
penganiayaan dan penyalahgunaan.
Yang dimaksud
dengan pemotongan sapi ialah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang
aman, sehat, utuh, dan halal. Kondisi aman dan sehat, dapat dilakukan dengan
cara selalu memeriksa kesehatan sapi pada awal proses pemotongan ( ante mortem
) dan setelah pemotongan ( post mortem ).
Untuk
menunjang maksud tersebut, proses pemotongan hewan besar seperti sapi, kerbau
harus dilakukan melalui prosedur dan tahap – tahap proses yang baku ( standar
). Standar dan prosedur operasi ( SPO ) pemotongan sapi yang telah ditetapkan
oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
a.
Mengistirahatkan
sapi ( rekondisi ) yang akan dipotong minimal lebih kurang 8 jam
b.
Pemeriksaan
sebelum penyembelihan ( ante mortem ) oleh petugas yang berkepentingan
c.
Sapi
dimasukkan ke rungan pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan
sanitasi.
d.
Sesuai
standar halal, sapi direbahkan kearah kiblat
e.
Sapi
dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya
f.
Dilakukan
proses pemotongan
g.
Didiamkan
beberapa saat hingga darah betul – betul tiris atau habis, kemudian daging
dimatangkan, dengan cara menyimpannya pada suhu kamar ( 27 – 30 0C )
selama 24 – 40 jam atau pada suhu pendinginan ( 10 – 15 0C ) selama
7 – 10 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan karkas ( dagingnya
) akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan pengkakuan akibat
terjadinya pengkakuan kekejangan (kontraksi) Urat daging. Daging demikian jika
dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan . Penyimpanan karkas, disamping untuk
pematanggan daging juga bertujuan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
h.
Proses
pemisahan kepala dari badan
i.
Proses
pengulitan
j.
Pemeriksaan
kesehatan daging
k.
Pemeriksaaan
daging,organ dalam,jeroan,diruang yang sudah ditentukan
l.
Pemeriksaan
port mortem oleh petugas keur master ,jikaproduk dsging dinyatakan sehat dengan
stempel khusus,boleh dipasarkan dan di distribusikan.
III. PEMBAHASAN
3.1. Prosedur Pemotongan Sapi di
RPH Tradisional
Pemotongan
Sapi dengan metoda yang sangat sederhana dengan menggunakan peralatan seadanya
seperti pisau potong dan tali. Sebenarnya prinsipnya hampir sama dengan
pemotongan modern yaitu membuat sapi yang akan dipotong tidak berdaya untuk
mempermudah proses pemotongan.
Perbedaan
yang utama adalah pada teknik untuk melumpuhkan sapi. Kerugian yang diakibatkan
pada teknik pemotongan secara tradisional ini cukup banyak, seperti :
a. Kebersihan
dari daging sapi yang dihasilkan tidak terjamin, karena teknik pemotongan
ternak tradisional tidak mengindahkan higienis dan sanitasi. Tempat pemotongan
biasanya hanya ala kadarnya, bahkan pada beberapa tempat malah masih
menggunakan tanah sebagai lantainya, selain itu juga jarang sekali dibersihkan.
b. Daging
sapi yang dihasilkan rawan tertular penyakit berbahaya, yang berasal dari
peralatan pemotongan maupun tempat pemotongan.
c. Daging
cepat membusuk karena energy sapi dalam bentuk glikogen habis digunakan untuk
menahan sakit.. Jika kadar glikogen ini rendah dampaknya daging cepat rusak.
d. Jarang
sekali memenuhi standar halal, dan pada beberapa kasus, orang yang memotong
malas menggunakan tali dan mencari jalan pintas dengan menyayat bagian kaki
untuk memutuskan ototnya, dengan kondisi demikian sapi akan langsung terjatuh
dan dapat di potong.
e. Semua
praktek di atas sesungguhnya tidak memenuhi azaz kesejahteraan ternak, yaitu
suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga
berdampak ada peningkatan sistim psikologi dan fisiologi satwa, yang telah
disyaratkan oleh pemerintah.
Menurut Ressang
dalam Agatha (2007), cara penyembelihan yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut:
Pertama-tama hewan dijatuhkan dengan
menggunakan cincin-cincin yang difiksasikan di lantai, kemudian tanduk
diarahkan ke lantai sehingga hidung menghadap ke atas. Kepala mengarah ke
selatan dan ekor menghadap ke utara. Dengan demikian muka dan kaki mengarah ke
kiblat.
Kedudukan penyembelih (orang yang
menyembelih) adalah di sebelah timur dari leher sehingga ia akan menghadap ke
kiblat saat menyembelih. Dengan menggunakan pisau yang tajam dilakukan
penyembelihan dengan sekali tebas harus terpotong trachea, eosophagus, arteri
dan vena.
Menurut
Agatha dkk,2007 yang harus diperhatikan dalam proses pemotongan hewan adalah :
a. Hewan tidak terlalu menderita
b. Pengeluaran darah sempurna
c. Sesuai dengan ketentuan agama yaitu
sesuai dengan syariat Islam, kebiasaan dan adat setempat.
. 



3.2. Tinjauan menurut animal welfare
a.
Waktu istirahat sapi sebelum pemotongan di RPH sering diabaikan, sehingga
menyebabkan sapi menjadi stress.
b.
Kebersihan lingkungan di RPH kurang diperhatikan sehingga dapat menyebabkan
ketidaknyamanan pada sapi dan dapat menimbulkan penyakit.
c.
Pemeriksaan Ante Mortem sering
diabaikan, sehingga sapi-sapi yang seharusnya tidak disembelih contohnya sapi
betina, sapi betina bunting dan sapi yang terinfeksi penyakit-penyakit
berbahaya ikut disembelih.
d.
Tempat pemotongan hewan tidak sesuai dengan standart operasional RPH yang
ditetapkan pemerintah.
e.
Proses pemotongan sapi dimulai dari menggiring sapi dari kandang istirahat
hingga proses pemotongan :
-
sapi sering ditarik secara paksa, dicambuk, serta dicaci maki.
-
proses penjatuhan sapi secara kasar, tidak sesuai dengan cara handling dan
restrain yang benar.hal ini dapat menyebabkan hewan cidera.
-
saat penyembelihan, hewan yang sedang disembelih dan yang akan disembelih
posisinya berhadapan, hal ini dapat menyebabkan stress pada hewan yang belum
disembelih.
-
proses pengeluaran darah belum sempurna, tetapi sapi sudah digantung dan
dikuliti.
Dari
pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa hewan mengalami stress,
ketidaknyamanan, kemungkinan tertular penyakit, penyiksaan (menimbulkan rasa
sakit) dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas daging yang akan dikonsumsi
manusia sehingga kesejahteraan manusia dapat terganggu.
3.3 Tinjauan etika kedokteran hewan
terhadap prosedur pemotongan sapi di RPH tradisional
a. Sebagai dokter hewan, kita wajib memeriksa hewan sebelum
pemotongan yaitu dengan melakukan pemeriksaan ante mortem untuk memastikan bahwa sapi tersebut layak untuk
disembelih.
b. Sebagai dokter hewan, kita harus mengeluarkan Surat
Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) bahwa sapi tersebut layak untuk disembelih.
c. Sebagai dokter hewan, kita wajib memastikan bahwa sapi
disembelih sesuai dengan prosedur pemotongan yang benar dengan memastikan hewan
diperlakukan dengan aspek animal welfare.
d. Sebagai dokter hewan, kita wajib memberikan penyuluhan kepada
para jagal tentang tata cara penyembelihan sapi yang benar sesuai dengan animal welfare serta menjaga kebersihan
lingkungan RPH baik sebelum pemotongan maupun setelah pemotongan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
a. RPH tradisional kurang memperhatikan aspek animal welfare (5 freedom of WSPA).
b. sapi betina produktif, sapi betina bunting, sapi
terinfeksi penyakit ikut disembelih di RPH tradisional, disebabkan kurangnya
pengawasan dari dokter hewan atau petugas yang bertanggung jawab.
4.2 saran
a. Animal welfare di RPH tradisional harus lebih
diperhatikan dan dilaksanakan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur yang berlaku.
b. Memperhatikan kelayakan sapi yang akan dipotong
c. Dokter hewan yang bertugas harus lebih aktif dan
melaksakan tugas sesuai fungsi dan etika dokter hewan.
DAFTAR PUSTAKA
Agatha Sanjaya Winny, dkk. 2007. Higieni Pangan. Bagian
kesehatan masyarakat veteriner departemen ilmu penyakit hewan dan kesmavet FKH
IPB: Bogor
Hidayat, cecep. 2011. Animal
Welfare Sapi AUSTRALIA DAN iNDONESIA. http: //www.kabarindonesia .com/beritaprint.php?id
=20110724081920:.
Wardhan, Kusuma.
2012. Sekilas Tentang Animal Welfare.
http://koranpdhi.com/buletin-edisi3/edisi3-animalwelfare.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar