Selasa, 14 Juni 2016

PENTING DIKETAUI "KESEJAHTERAAN HEWAN"



I. PENDAHULUAN


1.1  Latar belakang masalah
            Pada tanggal 8 Juni 2011 lalu pemerintah Australia membuat keputusan untuk menghentikan ekspor sapi hidup ke Indonesia, dan pada bulan Juli 2011  secara resmi pemerintah Australia mencabut kembali larangan ekspor sapi hidup yang telah dibuatnya.
            Pencabutan larangan ekspor tadi diakibatkan oleh besarnya tingkat tekanan yang diberikan oleh para peternak Australia yang merasa dirugikan dengan pilihan sikap yang telah diambil oleh pihak pemerintahannya tersebut. Reaksi besar peternak Australia ini sudah banyak diduga sejak dari sebelum-sebelumnya, sehubungan pihak peternak Australia mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap pasar sapi Indonesia. Karena Indonesia merupakan tujuan utama penjualan (ekspor) sapi kepunyaan mereka selama ini. Dimana nilainya mencapai angka 60-80% total ekspor hewan dan daging sapi yang diekspor oleh negara tersebut per tahunnya.
            Pada awalnya pelarangan ekspor sapi hidup yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tersebut, dipicu oleh hasil temuan para aktivis pecinta binatang asal Australia. Dimana dari hasil tinjauan langsung mereka, para aktivis tadi melihat bahwa sapi-sapi hidup asal Australia diperlakukan secara sadis di beberapa Rumah Potong Hewan (RPH) Indonesia. Perlakuan yang dianggap oleh mereka biadab  tersebut kemudian di rekam dalam bentuk video, lalu selanjutnya mereka tayangkan di stasiun televisi ABC (Australian Broadcasting Corporation). Tayangan tersebut kemudian memancing reaksi sangat keras organisasi-organisasi  pecinta binatang Australia sekaligus pula para politikus di sana untuk kemudian menekan pihak pemerintah Australia agar menghentikan ekspor sapi hidup ke Indonesia.
Melalui pencabutan pelarangan ekspor sapi hidup ini tampak terlihat bahwa pemerintah Australia mencari jalan tengah atas dua tekanan yang menghimpit kepadanya. Pertama tekanan dari para aktivis binatang, sebagai pihak yang pro terhadap pelarangan ekspor. Kedua tekanan dari para peternak yang menuntut dibukanya kembali keran ekspor sapi hidup ke Indonesia.
            Sikap kompromi terhadap dua tekanan besar tersebut tampak dari syarat yang diberikan oleh Australia terhadap Indonesia sebagai bagian dari syarat dicabutnya kembali pelarangan ekspor sapi hidup di atas. Dimana Indonesia "diwajibkan" membenahi sistem penanganan sapi-sapi hidup asal Australia, mulai dari saat dalam proses perjalanan pengiriman, massa penggemukan, hingga proses pemotongan di RPH. Semuanya wajib menjaga prinsip-prinsip kesejahteraan ternak (Animal Welfare).
            Australia memang salah satu Negara yang cukup konsen dengan prinsip-prinsip Animal Welfare, dimana sebelumnya pun mereka telah melakukan sikap yang sama terhadap Negara Mesir pada tahun 2006 silam. Saat itu akibat kasus yang hampir mirip dengan yang terjadi di Indonesia sekarang ini, Negara Mesir diembargo oleh Australia. (Hidayat, 2011)

1.2  Rumusan Masalah
Bagaimanakah hubungan antara praktek pemotongan sapi di RPH tradisional dengan prosedur pemotongan sapi yang sesuai dengan Animal Welfare?

1.3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui hubungan antara pemotongan sapi di RPH tradisional dengan prosedur pemotongan sapi yang sesuai dengan Animal Welfare.





II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Animal Welfare
            Kebanyakan dari masyarakat umum kurang familiar dengan istilah Animal Welfare. Animal welfare atau dalam makna harfiahnya kesejahteraan hewan merupakan suatu langkah atau program budidaya ternak berlandaskan paradigma baru yang mendasarkan pada kebutuhan naluri alami dari hewan tersebut atau istilah lainnya lebih memperhatikan peri kemanusian pada hewan ternak.
            American Veterinary Medical Association (AVMA) mendeskripsikan bahwa Animal Welfare adalah sebuah tanggung jawab manusia atas semua aspek yang memberikan kenyamanan kepada hewan, termasuk didalamnya mempersiapkan kandang, manajemen, nutrisi, pencegahan penyakit dan perawatan, pemeliharaan yang baik, penanganan yang baik, dan penyembelihan yang tidak menyiksa. 
            Indonesia sendiri sebenarnya telah sejak dari dahulu konsens dengan masalah ini, hal ini tampak terlihat dari struktur  perangkat hukum yang sudah dimiliki guna mengatur hal itu. Seperti tercantum pada Undang-Undang No 6 tahun 1967 pasal 22 tentang bagaimana aturan pemberlakuan keharusan dalam memperlakukan ternak  selama dalam kandang, saat pemeliharaan, saat pengangkutan, serta saat dalam pemanfaatan oleh manusia, serta saat pemotongan.
Semuanya harus berazaskan pada sikap perlakuan yang wajar yang menjaga kenyamanan hidup sang hewan. Artinya bahwa apa yang terjadi di beberapa RPH yang menurut hasil tinjauan para aktivis pecinta binatang Australia dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsif-prinsif animal welfare adalah bersumber dari masih terdapatnya kesenjangan yang berjarak antara peraturan dengan praktik dilapangan.
            Apalagi dengan prinsif ASUH (Aman, Sehat, Utuh, Halal) yang dipegang oleh Indonesia dalam proses penyediaan daging nasional selayaknya harus menjadi pegangan bahwa seluruh proses penanganan hewan ternak pada pra maupun pasca penyembelihan harus berdasarkan pada peraturan yang ada. Termasuk diantaranya salah satu keharusan tentang terjaminnya kehalalan daging yang dihasilkan.
            Dalam Bahasa Indonesia animal welfare diartikan sebagai kesejahteraan satwa yaitu suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga berdampak ada peningkatan sistem psikologi dan fisiologi satwa. Kegiatan ini merupakan kepedulian manusia yang diberikan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup secara individual terutama bagi satwa yang terkurung dalam kandang atau terikat tanpa bisa leluasa bergerak. The five of freedom (lima hak kebebasan) merupakan pedoman untuk mengetahui apakah satwa-satwa tersebut sejahtera dan sekaligus langkah yang tepat dalam meningkatkan kesejahteraan satwa. The five of freedom itu adalah :
1. BEBAS DARI RASA LAPAR DAN HAUS Tersedianya air minum dan makan yang layak, higienis dan memenuhi gizi serta sesuai dengan musim. Pemberian makanan yang tepat dan proporsional.
2. BEBAS DARI RASA PANAS DAN TIDAK NYAMAN Adanya tempat berteduh, area untuk istirahat dan fasilitas yang sesuai dengan perilaku satwa.
3. BEBAS DARI LUKA, PENYAKIT DAN SAKIT Pengobatan dan pencegahan penyakit, diagnosa yang cepat dan tepat serta lingkungan yang higienis sehingga kuman patogen (bahaya) dapat dicegah dan dikontrol.
4. BEBAS MENGEKSPRESIKAN PERILAKU NORMAL DAN ALAMI Tersedianya ruang tempat tinggal yang memadai, fasilitas kandang yang sesuai dengan tingkah laku (behavior) satwa dan adanya teman untuk berinteraksi sosial.
5. BEBAS DARI RASA TAKUT DAN PENDERITAAN Tidak ada konflik (pertengkaran) antar atau lain species, tidak adanya gangguan dari hewan pemangsa (predator).
            Semua hewan (peternakan, untuk dipekerjakan, kesayangan, percobaan, untuk pertunjukkan bahkan yang masih liar sekalipun) menginginkan adanya kondisi lingkungan yag alamiah, aman dan nyaman. Perlakuan yang tidak menyiksa dan melukai hewan.stress merupakan tanda hewan tidak sejahtera. Bila terus dibiarkan akan berdampak pada gangguan reproduksi,metabolisme, fungsi immune (kekebalan tubuh), tingkah laku, pertumbuhan serta perkembangan dari satwa tersebut. Stres tidak bisa dibiarkan terus menerus, harus segera dicegah dan tingkatkan kesejahteraan satwa. Dari sudut pandang dokter hewan stress merupakan bahaya potensial yang berdampak pada semua aspek kesehatan satwa. ( Wardhan, 2012)

2.2 Praktek pemotongan sapi berdasarkan animal welfare/Prosedur Standar Operasional Pemotongan Sapi
            UU no 18 tahun 2009 pasal 66 ayat 2 point f dan g,  menerangakan bahwa pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebak-baiknya sehinga hewan bebas dari rasa sakit, takut dan tertekan , penganiayaan dan penyalahgunaan dan, perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan.
            Yang dimaksud dengan pemotongan sapi ialah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang aman, sehat, utuh, dan halal. Kondisi aman dan sehat, dapat dilakukan dengan cara selalu memeriksa kesehatan sapi pada awal proses pemotongan ( ante mortem ) dan setelah pemotongan ( post mortem ).
            Untuk menunjang maksud tersebut, proses pemotongan hewan besar seperti sapi, kerbau harus dilakukan melalui prosedur dan tahap – tahap proses yang baku ( standar ). Standar dan prosedur operasi ( SPO ) pemotongan sapi yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sebagai berikut :
a.       Mengistirahatkan sapi ( rekondisi ) yang akan dipotong minimal lebih kurang 8 jam
b.      Pemeriksaan sebelum penyembelihan ( ante mortem ) oleh petugas yang berkepentingan
c.       Sapi dimasukkan ke rungan pemotongan yang telah memenuhi persyaratan higienis dan sanitasi.
d.      Sesuai standar halal, sapi direbahkan kearah kiblat
e.       Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya
f.       Dilakukan proses pemotongan
g.      Didiamkan beberapa saat hingga darah betul – betul tiris atau habis, kemudian daging dimatangkan, dengan cara menyimpannya pada suhu kamar ( 27 – 30 0C ) selama 24 – 40 jam atau pada suhu pendinginan ( 10 – 15 0C ) selama 7 – 10 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan karkas ( dagingnya ) akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan pengkakuan akibat terjadinya pengkakuan kekejangan (kontraksi) Urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras  dimakan . Penyimpanan karkas, disamping untuk pematanggan daging juga bertujuan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
h.      Proses pemisahan kepala dari badan
i.        Proses pengulitan
j.        Pemeriksaan kesehatan daging
k.      Pemeriksaaan daging,organ dalam,jeroan,diruang yang sudah ditentukan
l.        Pemeriksaan port mortem oleh petugas keur master ,jikaproduk dsging dinyatakan sehat dengan stempel khusus,boleh dipasarkan dan di distribusikan.





III. PEMBAHASAN
3.1. Prosedur Pemotongan Sapi di RPH Tradisional
            Pemotongan Sapi dengan metoda yang sangat sederhana dengan menggunakan peralatan seadanya seperti pisau potong dan tali. Sebenarnya prinsipnya hampir sama dengan pemotongan modern yaitu membuat sapi yang akan dipotong tidak berdaya untuk mempermudah proses pemotongan.
            Perbedaan yang utama adalah pada teknik untuk melumpuhkan sapi. Kerugian yang diakibatkan pada teknik pemotongan secara tradisional ini cukup banyak, seperti :
a.       Kebersihan dari daging sapi yang dihasilkan tidak terjamin, karena teknik pemotongan ternak tradisional tidak mengindahkan higienis dan sanitasi. Tempat pemotongan biasanya hanya ala kadarnya, bahkan pada beberapa tempat malah masih menggunakan tanah sebagai lantainya, selain itu juga jarang sekali dibersihkan.
b.      Daging sapi yang dihasilkan rawan tertular penyakit berbahaya, yang berasal dari peralatan pemotongan maupun tempat pemotongan.
c.       Daging cepat membusuk karena energy sapi dalam bentuk glikogen habis digunakan untuk menahan sakit.. Jika kadar glikogen ini rendah dampaknya daging cepat rusak.
d.      Jarang sekali memenuhi standar halal, dan pada beberapa kasus, orang yang memotong malas menggunakan tali dan mencari jalan pintas dengan menyayat bagian kaki untuk memutuskan ototnya, dengan kondisi demikian sapi akan langsung terjatuh dan dapat di potong.
e.       Semua praktek di atas sesungguhnya tidak memenuhi azaz kesejahteraan ternak, yaitu suatu usaha untuk memberikan kondisi lingkungan yang sesuai bagi satwa sehingga berdampak ada peningkatan sistim psikologi dan fisiologi satwa, yang telah disyaratkan oleh pemerintah.

            Menurut Ressang dalam Agatha (2007), cara penyembelihan yang biasa dilakukan  adalah sebagai berikut:
                  Pertama-tama hewan dijatuhkan dengan menggunakan cincin-cincin yang difiksasikan di lantai, kemudian tanduk diarahkan ke lantai sehingga hidung menghadap ke atas. Kepala mengarah ke selatan dan ekor menghadap ke utara. Dengan demikian muka dan kaki mengarah ke kiblat.
                  Kedudukan penyembelih (orang yang menyembelih) adalah di sebelah timur dari leher sehingga ia akan menghadap ke kiblat saat menyembelih. Dengan menggunakan pisau yang tajam dilakukan penyembelihan dengan sekali tebas harus terpotong trachea, eosophagus, arteri dan vena.
              Menurut Agatha dkk,2007 yang harus diperhatikan dalam proses pemotongan hewan adalah :
a.       Hewan tidak terlalu menderita
b.      Pengeluaran darah sempurna
c.       Sesuai dengan ketentuan agama yaitu sesuai dengan syariat Islam, kebiasaan dan adat setempat.

.




3.2. Tinjauan menurut animal welfare

      a. Waktu istirahat sapi sebelum pemotongan di RPH sering diabaikan, sehingga menyebabkan sapi menjadi stress.
      b. Kebersihan lingkungan di RPH kurang diperhatikan sehingga dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada sapi dan dapat menimbulkan penyakit.
      c. Pemeriksaan Ante Mortem sering diabaikan, sehingga sapi-sapi yang seharusnya tidak disembelih contohnya sapi betina, sapi betina bunting dan sapi yang terinfeksi penyakit-penyakit berbahaya ikut disembelih.
      d. Tempat pemotongan hewan tidak sesuai dengan standart operasional RPH yang ditetapkan pemerintah.
      e. Proses pemotongan sapi dimulai dari menggiring sapi dari kandang istirahat hingga proses pemotongan :
      - sapi sering ditarik secara paksa, dicambuk, serta dicaci maki.
      - proses penjatuhan sapi secara kasar, tidak sesuai dengan cara handling dan restrain yang benar.hal ini dapat menyebabkan hewan cidera.
      - saat penyembelihan, hewan yang sedang disembelih dan yang akan disembelih posisinya berhadapan, hal ini dapat menyebabkan stress pada hewan yang belum disembelih.
      - proses pengeluaran darah belum sempurna, tetapi sapi sudah digantung dan dikuliti.

                  Dari pembahasan diatas, dapat diketahui bahwa hewan mengalami stress, ketidaknyamanan, kemungkinan tertular penyakit, penyiksaan (menimbulkan rasa sakit) dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas daging yang akan dikonsumsi manusia sehingga kesejahteraan manusia dapat terganggu.

3.3 Tinjauan etika kedokteran hewan terhadap prosedur pemotongan sapi di RPH tradisional

a. Sebagai dokter hewan, kita wajib memeriksa hewan sebelum pemotongan yaitu dengan melakukan pemeriksaan ante mortem untuk memastikan bahwa sapi tersebut layak untuk disembelih.
b. Sebagai dokter hewan, kita harus mengeluarkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) bahwa sapi tersebut layak untuk disembelih.
c. Sebagai dokter hewan, kita wajib memastikan bahwa sapi disembelih sesuai dengan prosedur pemotongan yang benar dengan memastikan hewan diperlakukan dengan aspek animal welfare.
d. Sebagai dokter hewan, kita wajib memberikan penyuluhan kepada para jagal tentang tata cara penyembelihan sapi yang benar sesuai dengan animal welfare serta menjaga kebersihan lingkungan RPH baik sebelum pemotongan maupun setelah pemotongan.






IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

a. RPH tradisional kurang memperhatikan aspek animal welfare (5 freedom of WSPA).
b. sapi betina produktif, sapi betina bunting, sapi terinfeksi penyakit ikut disembelih di RPH tradisional, disebabkan kurangnya pengawasan dari dokter hewan atau petugas yang bertanggung jawab.

4.2 saran

a. Animal welfare di RPH tradisional harus lebih diperhatikan dan dilaksanakan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur  yang berlaku.
b. Memperhatikan kelayakan sapi yang akan dipotong
c. Dokter hewan yang bertugas harus lebih aktif dan melaksakan tugas sesuai fungsi dan etika dokter hewan.













DAFTAR PUSTAKA

Agatha Sanjaya Winny, dkk. 2007. Higieni Pangan. Bagian kesehatan masyarakat veteriner departemen ilmu penyakit hewan dan kesmavet FKH IPB: Bogor

Hidayat, cecep. 2011. Animal Welfare Sapi AUSTRALIA DAN iNDONESIA. http: //www.kabarindonesia .com/beritaprint.php?id =20110724081920:.

Wardhan, Kusuma. 2012. Sekilas Tentang Animal Welfare. http://koranpdhi.com/buletin-edisi3/edisi3-animalwelfare.htm












Tidak ada komentar: